Anarkisme sipil (pengrusakan rumah dan penjarahan harta benda serta kekerasan fisik) yang terjadi Di Desa Mananga dan Jorjoga Kec.Taliabu Utara Kab.Kep Sula sejak tanggal 16 september lalu adalah bagian dari rangkaian jalinan panjang konflik yang tidak bisa dilepas-pisahkan dari konflik politik, ekses bias Pemilukada kab. Kep. Sula sejak pra momen dan pasca momen pemilihan Bupati dan Wakil bupati yang diselenggarakan tanggal 17 Juli lalu. Tak perlu di tutup-tutupi, bahwa akses informasi dan komunikasi yang sangat terbatas memungkinkan wilayah Taliabu menjadi Daerah yang paling terisolasi di Jazirah propinsi Maluku Utara. Sehingga beragam peristiwa yang membuat miris nurani orang yang masih memiliki nurani sebagai manusia, tidak terpublikasi ke mata dan telinga masyarakat luas.
Peristiwa ini adalah satu dari sekian ratus peristiwa yang sempat terpublikasi. Selebihnya mengendap dan ditelan waktu, hanya mampu terekam dalam pita sejarah milik mereka yang didera derita sebagai orang-orang yang sudah ditakdirkan untuk hidup dalam sebuah babak sejarah penindasan tanpa ampun, buah otonomisasi. ± 500 KK dari beberapa desa dipastikan akan meninggalkan Pulau Taliabu dalam kurun September hingga Desember 2010. hingga saat ini, sudah ± 100 KK yang meninggalkan Pulau Taliabu, dominan ke Kabupaten Wakatobi (tanah leluhur mereka), berniat untuk tinggal dan menetap secara permanen disana (pengakuan pelaku migrasi). Apa sebabnya?,
pertama; diskriminasi pendidikan, peserta didik yang orang tuanya tidak memilih kandidat terlantik (AHM-SP) dibebani biaya SPP 50.000 per-bulan dan mereka yang orang tuanya memilih kandidat terlantik tetap tidak dipungut biaya apapun sebagaimana biasanya, selanjutnya peserta didik yang orang tuanya tidak memilih kandidat terlantik sudah diberi ketegasan oleh oknum kepala sekolah dan oknum-oknum guru untuk tidak perlu naik kelas dan diupayakan tidak perlu lulus ketika mengikuti ujian nasional (UNAS), diperparah dengan perlakuan diskriminasi lain dan tekanan psikis kepada peserta didik pada sekolah masing-masing, yang bisa membuat miris nurani mereka yang ditimpa kemalangan ini, ya, inilah contoh guru teladan kita, pahlawan tanpa tanda jasa yang gila kuasa, pegawai fungsional yang takut dimutasi, penjilat pimpinan agar dana BOS tetap bisa ke kantong untuk menutupi jumlah uang hasil gaji yang terbuang percuma selama pra momentum pilkada 17 juli guna memenangkan kandidat terlantik.
Kedua; retribusi omong kosong tanpa PERDA maupun PERDES, program minta-minta sumbangan (uang) kepada masyarakat yang sudah miskin melarat, dipimpin oleh aparat pemerintah kecamatan dan desa untuk membangun infrastruktur tertentu. Jangan-jangan, infrasruktur yang hendak dibangun sudah di anggarkan dalam APBD tahun-tahun sebelumnya, sudah melewati tahapan pencairan 100% tapi infrastrukturnya tidak dibangun?, lalu kemana duitnya?
Ketiga; teror, penghancuran dan penjarahan harta benda, ancaman pembunuhan, kekerasan fisik, tanpa henti dari kelompok mayoritas yang merupakan pemenang kompetisi pada pemilukada Kep. Sula terhadap kelompok minoritas yang tidak memilih kandidat pemenang pada pemilukada 17 juli lalu.
Apa mungkin demokrasi tidak menghendaki perbedaan? Bukannya demokrasi itu lahir karena adanya perbedaan?, tapi jika kenyataan yang terjadi adalah demikian, lalu siapa yang harus membela orang-orang dari kelompok minoritas terjajah, tertindas, terancam ini agar memperoleh keadilan? Agar memperoleh perlindungan hukum sehingga tidak melukai rasa keadilan dan hasrat hidup mereka untuk bisa hidup dalam suasana aman, tentram, damai, tanpa teror, tanpa ancaman, tanpa intimidasi dan kekerasan di sebuah Negara yang katanya adalah Negara hukum?
Tak perlu terjekut, kaget dan terperanjat. Instrumen kekuasaan pada daerah dimana seluruh rangkaian kisah ini terjadi, “mungkin” justru menjadi benteng baja yang siap memberikan perlindungan kepada siapapun yang mau menteror, mengancam, mengintimidasi, dan melakukan rupa-rupa tindakan kekerasan dan kriminalisme lainnya kepada orang-orang dari kelompok minoritas termaksud diatas. Apa kita sedang menuduh?, ya, karena pola kekerasannya sangat sistematis dan terencana, dipimpin oleh aparat-aparat pemerintah desa, pegawai-pegawai negeri sipil, bahkan sanak family kandidat terlantik. Lalu kenapa main tuduh?, ya, karena kelompok mayoritas semestinya mengayomi dan melindungi kelompok minoritas, juga karena tidak ada upaya rekonsoliasi untuk meredam kondisi ini, upaya rekonsiliasi yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah agar masyarakatnya tidak saling membunuh. Apa mungkin bisa begitu?, ya, mungkin saja, karena kadang-kadang kekuasaan menggunakan kekerasan sebagai cara terbaik untuk menundukkan dan menaklukkan hati dan semangat perlawanan yang sekalipun keras ibarat baja. Atau mungkin seluruh rangkaian kejadian dan peristiwa ini di luar sepengetahuan pemerintah daerah kita?, ya, “mungkin” saja. Lalu kenapa aparat penegak hukum kita cenderung diam?, ya, mungkin karena takut bertindak menegakkan keadilan atau karena sudah disuap, atau karena mereka mesra dengan pelaku tindak kriminal, atau mungkin karena benar-benar takut dengan nama besarnya pelaku tindak kriminal.
Kenapa sebuah kejahatan harus dilindungi?, kenapa sebuah tindak kriminalisme dan penindasan penguasa atas rakyatnya harus dibiarkan tumbuh subur disebuah negeri yang sebagian rakyatnya menghendaki sebuah perlakuan adil tanpa diskriminasi, sebuah pengayoman, sebuah rasa aman, sebuah harmoni yang permanen?, kenapa tirani kekuasaan atas rakyat dijadikan sebagai hal yang wajar dan biasa? Kenapa penegakan hukum di negeri ini selalu lamban, menunggu sampai rakyat mencela mereka!?.
Mari berharap, semoga seluruh rangkaian peristiwa ini tidak berujung pada konflik berdarah yang lebih hebat lagi antar-massa rakyat. Mari berdoa, semoga dilema dan kepiluan ini tidak berujung pada rasa putus asa dan gelap mata. Tuhan, tolong lindungi mereka, ayomi mereka dengan kesabaran, keteguhan sikap dan ketabahan…***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar