Sabtu, 23 Juli 2011

LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN INTELEKTUAL KARL MARX

Tahun 1932 seorang Marxis David Ryazanov mengumpulkan sebuah naskah yang ditulis Marx ketika di Paris. Dalam naskah yang berjudul Paris Manuscripts itu, pemikiran Marx berlainan dengan karya-karyanya yang bersifat ekonomis semisal Das Kapital. Dalam Paris Manuscripts Marx tampil lebih sebagai seorang Filsuf yang Humanistis daripada sebagai seorang ekonom yang deterministis. Sejak itu, pemikiran Marx dibedakan menjadi dua; Marx Muda dan Marx Tua. Sekarang tidak diragukan bahwa motif-motif Marx muda menjiwai karya-karya Marx tua. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa mestinya tidak perlu ada polemik dan perdebatan terkait dengan klasifikasi antara Marx muda dan Marx tua. Karena Marx tua adalah Marx muda yang telah mencapai kedewasaan dalam berpikir, dan Marx muda merupakan latar belakang bagi Marx tua, pengalaman masa muda, dan keseluruhan dinamika sosial dan intelektual yang dilewati hingga pada usia Marx yang menua merupakan perjalanan sebagai “dialektika” dari perkembangan kontruksi berpikir Marx. Dengan dasar ini, maka polemik seputar Marx tua dan Marx muda tidak perlu lagi mendapatkan tempat dalam tulisan ini.

Marx dipengaruhi oleh banyak tokoh Perancis, terutama tokoh-tokoh sosialis Perancis pada pasca revolusi, Marx juga dipengaruhi oleh sejumlah tokoh ekonomi-politik Inggris dan Perancis (terutama Proudhon), dan yang terpenting Marx memulai segala langkah intelektualnya dari Jerman, negara yang telah meletakkan dasar bagi filsafat dan rangkaian bangunan pemikiran Marx. Bahkan, ketiga arus pemikiran ini, justru melebur dan menyatu dalam diri Marx sebagai satu kesatuan, ketiganya saling menunjang dan saling berkontribusi dalam mendudukkan kerangka berpikir Marx dan sejumlah ide-ide Marx selanjutnya. Karena Jerman merupakan negara dimana Marx dilahirkan dan memperoleh pelajaran bagi pengembangan intelektualnya, maka pembahasannya akan dimulai dari Jerman, selanjutnya ke Perancis sebagai negara tempat Marx bermigrasi pasca dari Jerman, dan terakhir adalah Inggris sebagai negara terakhir disepanjang petualangan Marx, dan di Inggris pulalah Das Kapital yang merupakan kulminasi teoritis Marx mulai ditulis.

1.Filsafat Idealisme dan Materialisme Jerman

Pemikiran Marx, bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh perkembangan intelektual yang menggejala di Jerman pada masanya. Secara umum, warisan pemikiran pencerahan adalah merupakan kritik atas bangunan pemikiran metafisika yang terwujud dalam doktrin kristiani. Meskipun tidak bisa dinafikan bahwa tetap saja ada beberapa pemikir yang cenderung mendukung dogma kristiani.

Pasca Immanuel Kant, arus pemikiran Jerman (pra Marx) berada dibawah pengaruh tiga pemikir besar Jerman dengan aroma idealisme yang kental dalam nafas intelektual mereka. Yakni, Johan Gottlieb Fichte, Friedrich Wilhelm Joseph Schelling, dan George Wilhelm Friedrich Hegel. Terlepas dari beberapa intelektual besar Jerman sebelum ketiga orang ini, Marx hanya berbicara sedikit ketika menyentil Fichte dan Schelling. Sebaliknya ketika berbicara tentang Hegel, Marx justru begitu berapi-api. Sungguh pengaruh Hegel mulai mengakar sejak Marx ke Universitas Berlin, dimana Marx menjadi bagian dari Doctor Club, kelompok Hegelian Muda, diantaranya Feuerbach sebagai salah satu anggota yang paling menonjol.

Meskipun pada banyak kesempatan Marx mencitrakan diri sebagai penantang serius atas sistem filsafat Hegel, akan tetapi beberapa prinsip dalam bangunan filsafat Hegel sudah terlanjur meracuninya. Menjadi Hegelian muda selama di Berlin, memberi pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan intelektual Marx pada masa-masa selanjutnya. Sebagaimana disampaikan oleh Ritzer bahwa “Pendidikan Marx di Universitas Berlin dibentuk oleh gagasan Hegel...”.

Bangunan filsafat Hegel merupakan sebuah abstraksi filosofis atas sejarah manusia sebagai bagian yang tidak bisa dilepas-pisahkan dari perjalanan roh sejarah. Terlampau banyak kisah tentang “Roh” dalam pembahasan Hegel yang panjang dan berbelit-belit (meskipun harus diakui, bahwa dia adalah filsuf besar pada zamannya). Filsafat Hegel menekankan pada rasio. Namun rasio yang dimaksud bukan semata-mata yang terdapat pada individu, melainkan rasio yang terdapat pada subjek absolut yang mengejawantahkan dirinya melalui gerak sejarah, itulah yang dimaksud dengan “Roh Sejarah” dalam pemaknaan Hegel. Setidaknya, dapat disimpulkan dengan sederhana bahwa roh sejarah sesungguhnya tidak lain adalah “waktu” itu sendiri, yang mencandra setiap dimensi kehidupan manusia dari abad ke abad.

Hegel juga berjibaku dengan sejumlah persoalan dalam menafsirkan kebenaran realitas. Bagi Hegel, kebenaran realitas itu adalah kebenaran realitas yang hidup dalam konstruksi “Ide” atau “Rasio” manusia . Tidak ada realitas yang lepas dari rasio manusia, karena justru keseluruhan realitas yang nampak adalah hasil konstruksi rasio manusia. Kesimpulannya, yang nyata adalah ide manusia, bukan yang nampak diluar diri manusia. Jadi ide tersebut mengejawantahkan diri didalam dunia sebagai sebuah kebenaran absolut. Kondisi ini mengandaikan juga bahwa, keseluruhan sejarah kehidupan manusia adalah rasional pada dirinya. Hegel mengakumulasi kesimpulannya pada satu pernyataan bahwa “semua yang rasional itu real, dan yang real itu rasional”. Artinya, rasio itu sama luasnya dengan seluruh realitas, maka proses realitas adalah proses rasio atau ide.

Salah satu kontribusi terbesar Hegel dalam perkembangan intelektual Marx adalah konsep tentang Dialektika. Bagi Hegel, dialektika merupakan hukum untuk memahami perkembangan roh sejarah, dialektika adalah merupakan hukum evolusi. Seperti sudah disampaikan diatas, Hegel menandaskan pemahamannya atas realitas sebagai ide manusia, sehingga hukum dialektika Hegel tidak lain adalah hukum perkembangan realitas dalam rasio manusia. Engels, partner ideologis Marx menjelaskan “dialektika itu merupakan bentuk pemikiran yang paling penting bagi ilmu pengetahuan masa kini, karena hanya dialektika yang menawarkan analogi bagi metode penjelasan dari proses-proses evolusioner yang terjadi dalam alam, antar-kaitan antar-kaitan pada umumnya...” . Marx sangat mengagumi dialektika Hegel, tapi Marx memiliki perspektif yang berbeda dari Hegel soal penerapan hukum dialektika, Marx mengatakan bahwa “Hegel membuat dunia berdiri ‘diatas kepalanya’ dan oleh karenanya membubarkan ‘didalam kepala itu’... keseluruhan Phenomenology dimaksudkan untuk membuktikan bahwa ‘kesadaran diri’ merupakan satu-satunya realitas dan semua realitas” . Kesimpulannya, dialektika Hegel gagal dalam memahami hukum perkembangan masyarakat dalam bentuknya yang paling nyata.

Selain Hegel pada diri Marx, kita juga menemukan perwujudan Ludwig Feuerbach dalam diri Marx. Feuerbach senior Marx yang kritis semasa di klub doktor, sama-sama menentang Hegel yang idealis, sama-sama membenci Hegel yang cenderung melihat perkembangan masyarakat dari puncak bukit abstraksi, jauh dari kehidupan masyarakat yang sesungguhnya. Marx sangat mengagumi Feuerbach yang materialis, dan materialisme Feuerbach sungguh mempengaruhi pemikiran Marx, sebaliknya Marx juga membenci Feuerbach yang memandang remeh dialektika. Bagi Marx, marerialisme Feuerbach hanya merupakan adagium terbalik dari idealisme Hegel, karena Feuerbach pun hanya menggambarkan benda (objek) dalam renungan (anschauung), tidak sebagai aktifitas manusia, dalam praktek yang sesungguhnya. “Soal apakah kebenaran objektif bisa dianggap berasal dari pemikiran manusia bukanlah suatu teori, melainkan suatu praktek...”.

Serupa itulah polemik diantara ketiganya, yang pasti, Marx memiliki suatu penilaian tersendiri ketika membandingkan keduanya. Marx mengatakan “Dibandingkan dengan Hegel, Feuerbach itu sangat-sangatlah miskinnya. Namun begitu ia tetap membuat-sejarah setelah Hegel karena ia memberi tekanan pada hal-hal tertentu yang tidak sesuai dengan kesadaran Kristiani, tetapi penting bagi kemajuan kritisisme, dan yang telah ditinggalkan dalam kekaburan-mistikal oleh Hegel.

2. Ide-Ide Sosialisme Perancis


Marx sangat tertarik dengan revolusi Perancis, dalam banyak kesempatan, Marx senantiasa berbicara tanpa lupa menyinggung sejumlah kejadian pra dan pasca revolusi Perancis. Bahkan Marx telah menelaah sejumlah kontradiksi pada saat revolusi dan pasca revolusi di Perancis dalam Brumaire XVIII Louis Bonaparte (Tahun 1852) , sebuah ulasan yang panjang lebar, dan romantik. Tidak dapat disangkal bahwa revolusi Perancis meninggalkan kenangan sejarah yang cukup mendalam pada diri seorang Karl Marx. Terlepas dari revolusi Perancis dan guncangan sosial pasca revolusi, Marx tidak lupa berpolemik dengan pemikiran materialisme yang berkembang di Perancis pra revolusi. Bangunan pemikiran materialisme dihantarkan dari Inggris sebagai lawan pemikiran rasionalisme lokal yang diwariskan dari isi kepala Descartes.

Gelombang kritik menggejala pasca revolusi Perancis, semuanya dengan kritik yang serupa atas kondisi tatanan sosial yang timpang, instabilitas, pasca revolusi. Hampir keseluruhannya menawarkan ide yang relatif sama tentang perlunya menata kembali struktur sosial masyarakat. Sejauh mana pengaruh pemikiran sosialisme Perancis terhadap ide-ide Marx, sungguh tidak dapat disimpulkan secara gamblang. Berbeda dengan Hegel dan Feuerbach, ataupun Smith, Ricardo dan J.B. Say, dimana Marx berpolemik dengan bangunan pemikiran mereka secara berapi-api. Dalam Brumaire XVIII Louis Bonaparte, Marx memang dengan cukup gamblang dan dengan bahasa yang berapi-api menggambarkan dilema revolusi Perancis, gambaran atas seluruh dilema sosial dan politik Perancis pasca revolusi dan sejak berkuasanya Napoleon Bonaparte. Beberapa pemikir coba mengungkapkan bahwa “pengaruh Saint-Simon dan Hegel terhadap pemikiran Marx sama-sama besar”.

Fourier, menilai bahwa kebudayaan Borjuasi yang dihasilkan oleh revolusi Industri dan revolusi Perancis adalah cacat kemanusiaan. Borjuasi telah melenyapkan harmoni kemanusiaan yang pernah ada sebelumnya. Masyarakat borjuis merupakan masyarakat yang diciptakan dari nafsu dan keserakahan, sehingga menghilangkan dua hal penting yang menjadi alat integrasi masyarakat, yakni nilai cinta dan kekeluargaan. Fourier menyarankan perlunya re-organisasi masyarakat. Dengan imajinasinya yang romantis, yakni mengelompokan masyarakat kedalam komunitas-komunitas yang disebutnya “Phalanx”, sebuah kelompok yang beranggotakan 1.500-2000 orang. Sebuah khayalan yang tidak jauh berbeda dengan yang pernah dibayangkan oleh Thomas Moore diawal abad ke-14.

Sedikit berbeda dari Fourier, menurut Saint-Simon, proses industrialisasi dapat menjadi sarana integrasi dan harmoni dalam tatanan sosial baru. Era baru adalah era industri, yang dapat menjamin semua kebutuhan manusia, Saint simon menegaskan bahwa “kerja industri merupakan esensi ‘kerja’ ” , ini merupakan kenyataan sejarah yang tidak dapat dihindari. Pencerahan yang dimulai sejak abad ke-18 dan berpuncak pada revolusi Perancis telah berhasil menghancurkan kekuasaan feodalisme dan otoritas gereja, sejalan dengan itu revolusi industri telah menghancurkan tatanan ekonomi feodalistik, sehingga tercipta ke-tidak-stabilan dalam masyarakat, sebuah kondisi transisi. Maka diperlukan ilmu pengetahuan untuk me-reorganisasi kembali masyarakat yang sedang dalam kekacauan. Saint-Simon begitu optimis dengan idenya. Dibalik optimismenya, ironisnya salah satu muridnya, Bazaar, justru balik mengritik Saint-Simon, dengan mengatakan bahwa sistem industri adalah sistem eksploitasi, yakni eksploitasi manusia atas manusia, yang telah merusak peradaban manusia. Sebuah dilema yang umumnya terjadi, bahwa murid senantiasa menjadi kritikus yang paling berani atas pemikiran gurunya, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Marx terhadap Hegel.

Dalam pribadi Marx, dibanding beberapa pemikir Perancis lainnya, Proudhon mendapat tempat yang sedikit istimewa. Marx banyak meluangkan waktunya untuk berpolemik dengan Proudhon dibanding dengan pemikir-pemikir Perancis lainnya. Sebutlah misalnya dalam karya Marx “The Poverty Of Philosophy (Kemiskinan Filsafat)”, juga dalam “The Holy Family (Keluarga Suci)”, dan tampak pula bagaimana Marx mengisahkan sejumlah polemiknya bersama Proudhon dalam salah satu suratnya ketika di London yang ditujukan kepada J.B. Schweitzer tertanggal 24 Januari 1965. nampak bagaimana Marx dengan sangat berapi-api menjadi kritikus setia Proudhon. Mungkin selain Hegel dan Feuerbach, Proudhon lah orang ketiga yang dengan tajam selalu mendapat kritik-kritik pedas dari Marx.

Dari telaah atas berbagai polemik Marx dengan Proudhon, kecenderungan pemikiran Proudhon sesungguhnya justru lebih ke ekonomi politik. Meskipun pada beberapa sisi Proudhon berbicara tentang sisi lain terkait dengan peran masyarakat didalam negara, yakni negara tidak harus mengontrol organisasi ekonomi, selanjutnya organisasi ekonomi harus diserahkan kepada rakyat, membiarkan rakyat secara individu-individu melakukan kontrak dengan swasta dalam soal hubungan-hubungan ekonominya. Pembagian kerja pun disimpulkan sebagai sesuatu yang penting dalam hubungan-hubungan ekonomi ini, karena dengan adanya pembagian kerja, maka hubungan pertukaran bisa diciptakan. Dengan mengkritik Proudhon, Marx mengatakan, “disini, secara tiba-tiba dengan semacam lompatan beralih yang kita sekarang tahu rahasianya, metafisika ekonomi politik telah menjadi sebuah ilusi! tidak pernah M. Proudhon berbicara lebih sungguh-sungguh”.

Proudhon banyak berbicara tentang ekonomi politik; kepemilikan tanah, hubungan-hubungan produksi, penciptaan nilai lebih, proses pertukaran dan segala persoalan yang mendasari terjadinya pertukaran tersebut. Inipun tidak luput dari pemikiran Marx, yang lebih suka dengan analisis Ricardo atas ekonomi politik. Bersandar pada Ricardo, Marx kemudian menyerang Proudhon dengan mengatakan “Teori nilai-nilai Proudhon adalah penafsiran utopian atas teori Ricardo” . Proudhon tidak tidak pandai dalam mempergunakan akalnya untuk melakukan penalaran secara ilmiah, sehingga dapat disimpulkan dasar-dasar kritik yang ilmiah bagi bangunan pemikirannya. Marx menilai ada kebingungan yang tidak disadari Proudhon dalam setiap detil analisisnya. Proudhon cenderung melakukan tuntutan yang bersifat praktis tentang bagaimana seharusnya masyarakat berada, dan tuntutan ini tidak didasari dengan analisis yang ilmiah sesuai dengan hukum-hukum perkembangan sejarah dan masyarakat, inilah sisi utopis dalam kerangka pemikiran Proudhon, yang juga melanda beberapa pemikir Perancis lainnnya. Marx selanjutnya menuduh Proudhon dengan mengatakan “ Ia hendak meluncur sebagai manusia ilmu di atas burjuasi dan kaum proletar, padahal ia cuma si borjuis kecil, yang terus-menerus diombang-ambingkan antara modal dan kerja, antara ekonomi politik dan komunisme.

Hubungan Marx dan Proudhon tidak abadi, tapi polemik Marx dengan Proudhon juga meninggalkan kesan bagi perkembangan intelektual Marx, dia mengakui bahwa dia sedikit ditulari oleh pemikiran Proudhon, sebaliknya marx juga mengatakan bahwa dialektikanya ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran Proudhon. Marx lalu mengatakan “Tidak lama sebelum munculnya karya penting Proudhon yang kedua, Phiklosophie de la Misere (Filsafat Kemiskinan), ia mengumumkannya sendiri pada saya dalam sepucuk surat yang sangat rinci, di dalam mana ia antara lain mengatakan: “Saya menantikan lecutan kritik anda.” Dan ini segera dialaminya lewat tulisan saya Miserede la Philosophie/ Poverty Of Philosophy (Kemiskinan Filsafat), Paris 1847, cara yang mengakhiri persahabatan (antara) kita untuk selama-lamanya”.

Bagaimanapun juga, Marx banyak melalap habis dinamika pemikiran Perancis pasca revolusi Perancis. Dengan ini, maka sungguh nyata bahwa perkembangan pemikiran Marx juga dipengaruhi oleh konteks perkembangan intelektual Perancis, terutama pada pasca revolusi. Dasar si tukang kritik, tidak pernah mau menerima dengan apa adanya segala bangunan pemikiran yang sudah dianggap mapan oleh orang lain. Bagi Marx, gagasan-gagasan yang dilahirkan oleh revolusi perancis tidak membawa pada dilampauinya sistem yang hendak dihapusnya, Perancis hendak menghapuskan feodalisme, tapi justru menciptakan berjuasi. Dalam manifesto Parta Komunis, Marx dengan gamblang memberi penilaian atas keseluruhan ide-ide para pemikir Perancis pasca revolusi, terutama ide-ide sosialisme para pemikir Perancis. Dengan panjang lebar, Marx mengatakan “Sistim-sistem yang sesungguhnya dinamakan sistim Sosialis dan Komunis, yaitu sistem-sistem Saint-Simon, Fourier, Owen dan lain-lainnya, timbul pada permulaan masa belum berkembangnya perjuangan antara proletariat dengan burjuasi, seperti diterangkan di atas... Isi Sosialisme dan Komunisme yang kritis-utopi itu mengandung suatu tujuan yang bertentangan dengan perkembangan sejarah... Mereka masih memimpikan pelaksanaan percobaan dari utopi-utopi sosial mereka, bermimpi tentang membentuk “phalanstere-phalanstere (phalanx)” yang terpencil, tentang mendirikan “Home Colonies” atau mengadakan suatu “Icaria Kecil” - Jerusalem Baru kecil-kecilan - dan untuk mewujudkan segala lamunan ini, mereka terpaksa meminta belas-kasihan dan uang dari kaum burjuis”.

3. Ekonomi Politik Inggris dan Perancis

Adam Smith, David Ricardo (Inggris), dan J.B.Say (Perancis) dan juga Proudhon (sebagaimana yang telah disampaikan diatas), adalah beberapa ekonom yang memiliki pengaruh cukup besar dalam perkembangan itnelektual Marx. Para ekonom ini pulalah yang memberi kontribusi besar dalam perkembangan kritik dan analisis Marx pada karya monumentalnya, Das Kapital. tidak bisa disangkal, meskipun ekonomi politik pada ketika ini dipahami lahir dari Inggris, akan tetapi bagi Marx sendiri, kecenderungannya ke ekonomi politik justru dimulai ketika ia berada di Perancis.

Karya seorang anak manusia yang lahir di era pencerahan, di Skotlandi tahun 1723, si Adam Smith, An Inqiury into the Nature and Causes of the Wealth of Natons atau yang lebih dikenal dunia dengan judul pendeknya The Wealth of Nations, merupakan karya ekonomi akbar yang belum pernah ada sejak beberapa abad sebelumnya. Sebuah karya ekonomi yang nantinya merubah pandangan para ekonom dan pemimpin negara-negara tentang relasi ekonomi dan perdagangan. Jika revolusi industri menyumbang pada aspek produksi, maka The Wealth of Nations bisa dikatakan memberi sumbangan yang penting pada hubungan-hubungan pertukaran dan perdagangan internasional. Sama-sama memberi sumbangan pada beberapa hal yang sangat dibenci oleh Karl Marx.

Sistem ekonomi yang dibangun oleh negara-negara di Eropa pada ketika itu adalah sistem ekonomi Merchantilism (merkantilisme), pandangan merkantilisme menyatakan bahwa ekonomi dunia adalah stagnan, dalam arti akumulasi kekayaan dunia bersifat “tidak berkembang”. Sehingga sebuah negara bisa menjadi kaya jika ia mengorbankan negara lain. Merkantilisme juga menyokong kebijakan ekonomi proteksionisme, yakni melindungi jumlah persediaan dalam negara dengan memperbesar ekspor dan mengurangi impor. Ini berarti, perdagangan antara negara harus dibatasi, karena perdagangan yang bersifat bebas dan terbuka dapat menciptakan dilema ekonomi dalam negeri.

Merkantilisme meyakini bahwa kekayaan negara cenderung dihitung dengan uang, yang pada ketika itu berarti cadangan emas dan perak yang menjadi simpanan negara (tentunya ini bertolak dengan keyakinan jaman sekarang yang cenderung menghitung kekayaan negara, mulai dari tanah, sampai pada sumber daya manusianya). Karena alasan tersebut diatas, maka negara pun (terutama Portugis dan Spanyol) lalu mendukung kebijakan kolonialisme, perampasan hak milik negara lain untuk memperkaya negara sendiri. Penjelajahan samudera dilakukan, hanya untuk mencari dan menemukan tanah-tanah baru yang memiliki persediaan emas dan perak untuk dirampas (dilema inilah yang dialami oleh beberapa bangsa di Amerika Latin pada ketika itu; Inca, Aztek dan Maya, dan setidaknya ini pulalah yang dialami Indonesia pada era yang sama).

Adam Smith berpikir lain, bahwa sesungguhnya produktifitas dan perdagangan adalah kunci untuk menciptakan kekayaan dan kemakmuran dalam negara, dengan kata lain bahwa sumber kekayaan dan kemakmuran sesungguhnya bukan dengan pengumpulan emas dan perak hasil rampasan dari negara lain, tapi dengan memanfaatkan keseluruhan yang dimiliki oleh negara tersebut, termasuk tanah, bangunan-bangunan, barang-barang yang dapat dikonsumsi dan bahkan sumber daya manusianya.

Semacam itulah, ide tentang perdagangan bebas dan kebebasan pasar pun dimulai. Sekali lagi bagi Smith, kekayaan dan kemakmuran sesungguhnya tidak mesti dihitung dari jumlah simpanan negara, tapi “kemakmuran harus diukur berdasarkan seberapa baik rumah, pakaian dan makanan yang dimiliki oleh penduduk... kemakmuran sebuah negara terjadi jika semuakebutuhan dan fasilitas untuk hidup tersedia dengan harga murah”. Maka ini berarti pula bahwa kekayaan dan kemakmuran negara harus diukur dari kekayaan dan kemakmuran hidup rakyatnya. Smith lalu menyarankan agar rakyat diberi kebebasan ekonomi untuk berproduksi, melakukan distribusi atas modal serta mengakumulasinya dan melakukan pertukaran tanpa campur tangan negara, rakyat dalam negara harus bebas untuk melakukan transaksi dan perdagangan lintas negara tanpa dibebani dengan tarif dan dibatasi dengan jumlah kuota impor, ini juga berarti bahwa rakyat dapat dengan bebas memilih untuk bekerja ditempat manapun dengan tarif gaji yang disepakatinya, Smith menolak intervensi negara untu mengatur dinamika upah, biarkan rakyat menjual tenaga kerjanya dengan semaunya, karena itulah kehendaknya. Singkatnya pula, The Wealth of Nations merupakan karya yang sangat tepat dalam mendukung pertumbuhan revolusi Industri.

Menurut Skousen, Smith mengemukakan tiga unsur dalam konsep ekonominya;
1. Kebebasan (Freedom): hak untuk memproduksi dan memperdagangkan produk, tenaga kerja, dan modal.
2. Kepentingan diri (Self Interest): hak seseorang untuk melakukan usaha demi kepentingan sendiri dan membantu kepentingan diri orang lain.
3. Persaingan (Competition): hak untuk bersaing dalam produksi dan perdagangan barang dan jasa.

Kebebasan ini pada akhirnya akan melahirkan harmoni alamiah. Inilah konsep Laissez Faire yang dimaksudkan oleh Adam Smith, rakyat dibiarkan bebas untuk menyelenggarakan keseluruhan hubungan-hubungan ekonominya tanpa campur tangan negara. Karena bagi Smith, kebebasan ini pada akhirnya akan melahirkan Invisible Hand (tangan-tangan tidak kelihatan) yang dapat mendistribusi keuntungan bagi seluruh pelaku ekonomi. Memang, Smith juga adalah seorang professor filsafat moral, sehingga impiannya sungguh muluk, masyarakat dapat membangun relasi ekonomi yang seimbang diantara sesamanya, tanpa ada yang dieksploitasi dan dirugikan, kesimpulannya kita Smith telah mengibarkan bendera “survival of the fittest”.

Tapi apa hendak dikata, impian Smith jauh dari harapannya sebagai seorang professor filsafat moral. Smith sungguh menafikkan watak manusia yang eksploitatif, sungguh jika dia masih hidup dan menyaksikan perilaku kapitalis yang eksploitatif, munafik dan monopolis dimasa kini, yang berakibat pada kemiskinan bagi yang tidak mampu bersaing didalam pasar, maka sangat mungkin dia akan menarik kembali semua ucapan-ucapannya.

Dan David Ricardo (1772-1823), ekonom kedua yang sangat dikagumi oleh Marx, juga sebaliknya senantiasa mendapat cercaan pedas dari Marx. Dalam karyanya “Kemiskinan Filsafat”, ketika Marx berpolemik dan menghujat Proudhon, Marx justru menggunakan hasil-hasil analisis Ricardo untuk membikin gamblang kedangkalan pemikiran dan analisisis ekonomi politik Proudhon. Orang ini adaah teoritisi ekonom terkaya pada masanya. Menurut Skousen, jika model Smith berfokus pada bagaimana caranya agar terjadi pertumbuhan ekonomi, maka model Ricardo diarahkan pada bagaimana kue ekonomi dibagi-bagi (distribusi pendapatan) diantara berbagai kelompok atau kelas.

Orang ini juga merupakan salah seorang pendukung perdagangan, ia mengagumi Smith, sekaligus memuji konsep perdagangan bebas yang ditawarkan oleh Adam Smith. Menurutnya, jika perdagangan bebas terjadi antar negara-negara, maka ini akan bermuara pada terciptanya keuntungan komparatif. Sejalan dengan Smith yang juga menolak merkantilisme dan proteksionisme, Ricardo memberi penegasan pada perdagangan bebas sebagai bentuk spesialisasi produksi masing-masing negara, untuk dipertukarkan. Menurutnya, sebuah negara dapat saja unggul dalam memproduk barang tertentu, dengan biaya yang murah dan kualitas yang baik. Tapi sebaliknya juga bisa menjadi produsen sebuah barang yang diproduk dengan biaya yang mahal dan dengan kualitas yang buruk. Tidak keseluruhan barang dalam sebuah negara dapat diproduk dengan kualitas yang sama baiknya, dan dengan biaya produksi yang sama murahnya. Maka perlu ada spesialisasi produk dari masing-masing negara. Spesialisasi ini merupakan kunci untuk saling mempertukarkan barang-barang dengan kualitas yang sama baiknya, dan dengan biaya yang sama murahnya, agar memberi keuntungan pada masing-masing negara. Contoh yang diberikan Ricardo cukup fantastis dan memuaskan.

Spesialisasi dan nilai keuntungan komparatif ini tidak saja bisa diterapkan pada perdagangan antar negara, tapi juga pada relasi ekonomi antar individu. Seorang dokter ahli bedah yang hanya bekerja sendiri, tidak akan memperoleh banyak penghasilan jika dibanding ketika ia menyewa seorang perawat untuk membantunya. Lagi-lagi contoh yang diberikan oleh Ricardo utnuk hipotesis ini sungguh luar biasa.

Ada temuan lain yang ditelorkan oleh Ricardo, yakni Hukum Besi Upah. Hukum ini menyatakan bahwa, jika upah naik, maka akan memberi kesempatan kepada pekerja untuk punya banyak anak, ini berarti pula akan mendorong peningkatan pasokan tenaga kerja, sehingga jika pasokan tenaga kerja bertambah, maka upah yang diperoleh masing-masing pekerja akan turun. Demikian juga dengan persoalan laba, Ricardo menyatakan bahwa jika upah naik, maka profit akan turun. Lalu bagaimana jika pasokan tenaga kerja bertambah sedangkan upah lalu turun sehingga tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup pekerja sehari-sehari?, entahlah. Yang jelas menurut Ricardo tidak akan terjadi dimana ketika upah naik, maka profit juga akan naik. Jika upah harus naik, maka kaum pemilik (Pemilik tanah, atau industri) harus kehilangan sebagian dari profitnya, dan sebaliknya jika upah turun maka kaum pekerja atau buruh akan kehilangan pendapatan yang layak, sungguh sebuah dilema.

Dan Jean Baptiste Say (1767-1832), ekonom Perancis, juga memuji Smith, terutama ide pasar bebas yang ditelorkan oleh Smith. Ada empat hal mendasar yang menjadi kunci pemikiran J.B. Say, pertama; menyusun pengujian teori dengan fakta dan observasi, kedua; menyusun teori utilitas subjektif sebagai pengganti teori nilai kerja, ketiga; gagasan tentang peran vital enterpreneur, dan keempat; hukum pasar say.
Say tidak setuju dengan sahabatnya Ricardo, dia menilai Ricardo terlalu berabstraksi. Dia mengatakan Ricardo telah berhasil menciptakan model yang penuh dengan penilaian yang serampangan dan menyusun sistem sebelum fakta ditentukan. Say juga juga memiliki kesimpulan yang menyimpang dari Smith dan Ricardo tentang nilai tetap suatu komoditas. Say menyimpulkan bahwa nilai suatu barang tidak ditentukan pada nilai kerja, akan tetapi ditentukan oleh cara konsumen dalam menilai suatu produk barang atau jasa. Inilah yang kemudian dikenal sebagai teori utilitas subjektif. Apakah ini bukan berarti bahwa harga suatu barang ditentukan oleh permintaan?.

Kontribusi yang sangat berarti dari Say adalah idenya tentang peran enterpreneur . Bahkan Say lah yang pertamakali menggunakan istilah enterpreneur (sebagaimana Marx juga menggunakan istilah Kapitalis untuk yang pertama kalinya). Setidaknya, apa yang dimaksudkan oleh Say tentang enterpreneur tidak jauh berbeda dengan yang kita pahami pada ketika ini, sebagai para petualang, pencari peluang bisnis. Say juga menegaskan bahwa seorang interpreneur bukanlah seseorang yang sudah kaya atau memiliki modal yang cukup, sebab seorang interpreneur adalah seseorang yang bisa saja memulai usaha dari modal “zero”, memperoleh modal dari pinjaman untuk dapat dikembang-biakkan. Say juga adalah seorang pengusaha yang sukses di Perancis, mungkin dia menjadi sukses dengan mempraktekkan konsepnya tentang enterpreneur. Entahlah.

Ketika berbicara tentang relasi pasar dan depresi ekonomi, Say berasumsi bahwa depresi ekonomi diakibatkan oleh kelangkaan produk. Sebuah kondisi depresi ekonomi dapat segera berakhir jika petani, pengusaha pabrik, dan produsen barang dan jasa lainnya dapat meningkatkan penjualannya. Artinya, ketika petani, pengusaha pabrik, dan produsen dapat meningkatkan penjualan, maka berarti pula mereka dapat memperoleh sekian banyak input (laba), kondisi ini akan mengakibatkan pula menjadi meningkatnya konsumsi, singkatnya, ketika seseorang menjual, maka dia juga akan memiliki banyak peluang dan kesempatan untuk membeli. inilah solusi atau normalisasi ekonomi kembali untuk mengakhiri depresi. Sebagaimana dijelaskan oleh Skousen, bahwa kesimpulan Say, mengarahkannya pada penciptaan sebuah hukum baru “produksi adalah penyebab konsumsi” atau dengan kata lain, “output yang meningkat akan memperbesar pengeluaran konsumen”, untuk sementara, seperti inilah kesimpulan kita tentang ketiga moyang Ekonomi Politik ini.

Marx memuji Ricardo, dengan mengatakan bahwa “Ricardo menunjukan kepada kita gerak sesungguhnya dari produk borjuasi, yang membentuk nilai”. Marx juga menyatakan bahwa Ricardo telah dengan gamblang memberi penjelasan tentang bagaimana kepemilikan tanah itu terjadi, dan bagaimana kepemilikan tanah ternyata tidak mampu mengubah nilai-nilai relatif barang-barang dagangan. Sepertinya keyakinan inilah yang mendasari Marx dalam menganalisis dan memberi kesimpulan tentang bagaimana harga suatu barang dibentuk oleh sejumlah tenaga dan waktu kerja.

Marx mengagumi, sekaligus juga membenci kedua orang ini. tentang perdagangan bebas yang diagung-agungkan oleh Smith dan Ricardo, yang didalamnya juga termuat persaingan, dengan singkat Marx menyatakan bahwa persaingan merupakan bentuk dari egoisme (pertarungan pemenuhan kepentingan diri), persaingan dalam perdagangan dan kerja (entah dalam industri ataupun dalam ladang perkebunan) pada esensinya adalah sama, karena sama-sama berorientasi pada penciptaan laba dan akumulasi kekayaan bagi sebagian orang dan sama-sama berakibat pada hancurnya hubungan-hubugan ekonomi dan relasi sosial dalam masyarakat, persaingan dalam perdagangan semestinya dilakukan jika para pelaku berada pada taraf kekuatan ekonomi yang setara. Jika tidak, maka akan tercipta monopoli yang bermuara pada penguasaan pasar oleh sebagian orang dan kehacuran bagi sebagian yang lain.

Tentang Hukum Besi Upah Ricardo, dalam Kemiskinan Filsafat, juga dalam karyanya mengenai Upah, Harga dan Laba, Marx mengakui bahwa kenaikan upah tidak selalu bersamaan dengan kenaikan laba. Tapi dalam proses persaingan pasar, dimana masing-masing komoditas berjibaku, maka segala macam strategi dalam persaingan harus diterapkan, termasuk diantaranya adalah dengan menurunkan harga komoditas. Tapi sayangnya, harga komoditas dipasar tidak harus diturunkan dengan memenggal leher proporsi keuntungan (laba), harga komoditas dipasar akan senantiasa diturunkan (karena tuntutan persaingan) dengan mengkebiri nilai upah pekerja. Memotong upah pekerja tidak dilakukan selama masa produksi, artinya selama pekerja bekerja di ladang milik si kapitalis, tapi pemotongan upah dilakukan ketika terjadi tawar-menawar antara si pembeli (kapitalis/pemilik modal) dengan si penjual (buruh/pekerja berupah) di pasar transaksi (bagi Marx, tenaga kerja adalah sama dengan komoditas lainnya). jika Ricardo cenderung melihat naik atau turunnya upah sesuai dengan hukum permintaan pasar, maka Marx melihat naik atau turunnya upah berdasarkan pada kontrak kerja antara pekerja dan pemilik modal, dengan maksud yang sama bahwa upah selalu dikondisikan dengan tigkat laba pemilik modal.

Demikian halnya tentang spesialisasi, atau lebih tepatnya pembagian kerja Marx menyimpulkan bahwa pembagian kerja sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari industrialisasi. Industri dengan mesin-mesinnya yang ditujukan untuk meningkatkan output produksi, maka dibutuhkan pula spesialisasi didalamnya untuk mengoperasikan mesin-mesin tersebut. Tapi sesungguhnya, pembagian kerja berorientasi pada “mengkerdilkan manusia”.

Tidak ada yang bisa melepaskan diri dari cercaan Marx, dalam Kemiskinan Filsafat, Marx dengan pedas menyampaikan “Para ahli ekonomi seperti Adam Smith dan Ricardo, yang adalah ahli-ahli sejarah dari kurun zaman ini, tidak mempunyai missi lain kecuali menunjukkan bagaimana kekayaan itu diperoleh dalam hubungan-hubungan produksi borjuis, merumuskan hubungan-hubungan ini ke dalam kategori-kategori, menjadi hukum-hukum dan kategori-kategori masyarakat feodal. Kemiskinan di mata mereka cuma sekedar kesakitan yang menyertai setiap kelahiran bayi, di dalam alam maupun dalam industri”.

Dan pada konsep perdagagan bebas , Marx justru berasumsi bahwa perdagangan bebas memberi akibat yang sangat serius pada nilai harga komoditas dalam negeri. Bagaimanapun juga, konsep perdagangan bebas (setidaknya seperti yang ditawarkan oleh Ricardo) bisa mengeliminasi tingkat harga komoditas dalam negeri, karena negara akan cenderung membiarkan pelaku pasar lain masuk dan mendominasi pasar komoditas dalam negeri. Konsekuensinya, antara barang-barang yang sama yang diproduksi di dalam negeri, dengan barang-barang yang sama yang di produksi di luar negeri akan bersaing untuk memperebutkan pasar. Seperti yang telah disebutkan diatas, persaingan ini akan mengarahkan harga pada titik terendah. Lalu bagaimana dengan barang yang diproduk oleh pekerja dalam negeri, dengan harapan agar barang hasil produknya dibeli dengan harga yang tinggi, karena harga yang tinggi juga dapat memungkinkan tingginya upah pekerja dalam negeri? bagaimana dilema ini dipecahkan? Entahlah.

Untuk J.B. Say, sepertinya Marx jarang membuka ruang polemik. Dalam Keluarga Suci, Marx melampiaskan kemarahannya untuk Say, dengan mengatakan bahwa, “Say dan para ahli ekonomi sesudahnya, yang memantau bahwa karena kerja itu sendiri bergantung pada penilaian, merupakan suatu barang dagangan seperti semua barang dagangan lainnya, bergerak dalam suatu lingkaran tanpa ujung, tanpa pangkal... dengan berbuat demikian, para ahli ekonomi ini... memperlihatkan suatu kesembronoan luar biasa...”.


DAFTAR PUSTAKA

..., pustaka dapat anda lihat pada dua bahasan sebelumnya tentang Biografi Marx dan Latar Belakang Sosial kehidupan Marx...,

2 komentar:

  1. waw,
    jujur... aku masih bingung....
    tp, ilmu yg lumayan brguna bwt ngrjain tgs

    BalasHapus
  2. maaf, halaman2 pustaka gak d cantumkan...,
    butuh waktu 7 thn buat memahami bberapa penggal pikiran Marx...,

    BalasHapus