Kamis, 02 Juni 2011

TENTANG SKRIPSI SAYA DAN METODE HERMENEUTIKA

Saat ini, adalah masa-masa tersulit bagi saya, diberondong dengan berbagai pekerjaan yang luar bisa banyak. Rumitnya, pekerjaan itu tidak mesti diselesaikan dengan otot, tapi mesti diselesaikan dengan otak. Sehingga butuh energi ekstra, stamina ekstra, konsentrasi ekstra, dan semangat yang ekstra. Yang paling berat adalah pekerjaan untuk menyelesaikan skripsi saya. Skripsi denga judul “Kelas Sosial Dalam Tinjauan Karl Marx”. Demi ambisi ini, Das Kapital saya pesan, lewat bantuan seorang wanita terbijak, terbaik, teristimewa, buku ini berhasil saya peroleh. Tiga jilid yang mendebarkan jantung. Dengan total 2500 halaman, harus dilalap, tidak boleh setengah-setengah. selain Das Kapital Jilid I-III, saya juga mulai mencari dan mengumpulkan sejumlah Karya-karya Marx yang lain, semisal “Keluarga Suci (Marx & Engels)”, “Kemiskinan Filsafat”, “Upah, Harga dan Laba”, “Manifesto Partai Komunis”, “Tesis Tentang Feuerbach”, “Tentang Proudhon”, “Brumaire XVIII Louis Bonaparte”, “Penghapusan Hak Milik Tanah”, “Ideologi Jerman”, “Tentang Perdagangan Bebas”, dan beberapa karya Friedrich Engels. Ada juga puluhan karya pemikir Besar Marxisme semisal; Tan Malaka, Lenin, Trotsky, Gramschi, Rosa Luxemburg, Mao Tse Tung, Karl Korsch, Karl Kautsky, George Lukacs, dll. Sebuah pekerjaan yang maha berat bagi seorang calon sarjana S1, tapi apa boleh buat, pilihan sudah ditetapkan, pantang kaki melangkah mundur.

Semula, saya merencanakan penyusunan skripsi ini dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yakni mendeskripsikan sejumlah hasil olah pustaka dari pertanyaan penelitian, dan menganalisisnya dengan terapi interpretative understanding”. Tapi setelah melalui beberapa diskusi dengan teman-teman, dan atas saran kritis dari salah seorang Dosen kritis yang cukup mahir dalam hal metodologi, beliau akhirnya memberi sebuah kesimpulan Praktis yang teramat berat bagi saya. Katanya, “Din, skripsi kamu ini rumit, sekaligus menantang, nilai skripsi kamu tidak terletak pada temanya yang bombastis, tapi pada keberanian kamu untuk mengkaji dan menelusuri bangunan pemikiran Marx, sehingga metodenya juga tidak cukup jika hanya berkutat pada deskripsi dan analisis sederhana, kamu harus berani menggunakan metode yang tidak lazim karena yang kamu teliti juga adalah bangunan pemikiran yang tidak lazim diteliti oleh seorang calon sarjana S1. Ada metode yang cukup bagus untuk penelitian kamu, saya sendiri masih kurang mengerti dengan metode ini, yaitu metode Hermeneutika”.

Alhasil, literatur tentang hermeneutika pun mulai saya cari, dan ketemu. Truth and Method karya Gadamer pun terpaksa saya beli, juga satu buku lain yang mengulas tentang hermeneutika, sebagai pemandu. Dan inilah sedikit ulasan saya tentang apa dan bagaimana itu Hermeneutika.

Subtilitas Intelligendi (Ketepatan Pemahaman) dan Subtilitas Explicandi (Ketepatan Penjabaran) adalah kunci dari Hermeneutika,

Hermeneutic berasal dari bahasa Yunani Hermeneuein yang berarti Menafsirkan, maka kata sifat Hermeneia dapat diartikan sebagai Penafsiran. Kata ini juga berkaitan erat dengan nama Hermes seorang tokoh mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan pesan Dewa dari gunung Olympus kepada manusia.

Dalam setiap kalimat yang di ucapkan, terdapat dua momen pemahaman, yaitu apa yang diatakan dalam konteks bahasa, dan apa yang dipikirkan oleh pembicara. Setiap pembicara mempunyai waktu dan tempat dan bahasa dimodifikasikan menurut kedua hal tersebut. Pemahaman hanya terdapat di dalam kedua momen yang saling berpautan satu sama lain itu. Baik bahasa, ataupun pembicaranya harus dipahami sebagaimana seharusnya.

Schleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi, yaitu rekonstruksi Objektif-historis dan rekonstruksi Subjektif-historis. Yang pertama bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai keseluruhan, sedangkan yang kedua bermaksud membahas awal mulanya sebuah pernyataan masuk kedalam pikiran seseorang. Schleiermacher menyatakan lebih lanjut bahwa tugas hermeneutic adalah memahami teks “sebaik atau lebih baik dari pengarangnya sendiri” dan “memahami pengarang teks lebih baik dari memahami diri sendiri”
Pemahaman terhadap individu menolak metode-metode penjelasan yang metodis dan ilmiah, karena individu pada dasarnya bersifat tak terselidiki (Individuum est ineffabile ). Bila seseorang merekonstruksi suatu peristiwa, berarti ia mencoba ‘menghidupkannya kembali’. Sebagai “penemuan atas diri saya didalam diri anda”, ini berarti pula bahwa seseorang membaca dirinya sendiri dalam objek penelitiannya. “kita menerangkan berarti kita membuat proses intelektual murni, tetapi kita memahami berarti kita menggabungkan semua daya pikiran kita dalam pengertian. Dan, dalam memahami, kita mengikuti proses mulai dari system keseluruhan yang kita terima didalam pengalaman hidup sehingga dapat kita mengerti, sampai ke pemahaman terhadap diri kita sendiri”.

Proses pemahaman terdiri dari dua bagian rangkaian peristiwa dalam proses kehidupan secara berbeda satu sama lain. Pertama, pengalaman yang hidup menimbulkan ungkapannya. Bila kita menyelidiki ungkapan dengan mundur ke pengalaman, ini berarti kita melakukan hubungan akibat-sebab. Kedua, dalam proses menghidupkan kembali atau rekonstruksi berbagai peristiwa, dimana orang dapat melihat kelanjutan peristiwa tersebut sehingga ia bisa ambil bagian didalamnya, maka ia melakukan proses hubungan sebab-akibat. Bagian yang kedua ini merupakan epitomae atau ikhtisar pemahaman. Kita akan mampu memahami hanya jika kita mampu memutar balik proses kausal dari akibat-sebab ke sebab-akibat. Namun kedua bagian ini tidak terpisahkan satu dengan yang lain, sebab dalam proses pemahaman itu sendiri, akal pikiran kita mengambil alih timbul tenggelamnya sebab dan akibat dalam rangkaian penyebaban. Dalam kelangsungan waktu, baik masa lalu maupun masa mendatang transenden terhadap momen yang penuh dengan pengalaman. Ini bisa terjadi sebagai akibat dari “keterhubungan hidup” (the connectedness of life).

Dalam kebebasannya yang inheren manusia membayangkan sebuah tema didalam angan-angannya dan mengevaluasi tema tersebut menurut kebebasannya. Bila seseorang berdiri ditengah-tengah reruntuhan dan memandangnya sebagai peninggalan masa lampau, orang tersebut mengalami person-person dan segala perbuatannya seakan-akan bermunculan dalam benaknya dengan segala corak dan warnanya sendiri yang khas. Dia kemudian “mengaktifkan kembali” segala peristiwa yang ada dengan bantuan data yang berasal dari reruntuhan tersebut. Karya semacam inilah yang disebut dengan “Hermeneutik” atau interpretasi. Tujuan akhir dari hermeneutic adalah kemampuan memahami penulis atau pengarang melebihi pemahaman terhadap diri kita sendiri.

Menarik kesimpulan dari sebuah fakta teks yang mengandung unsur sejarah, mengharuskan seseorang untuk terjun dan mendalami peristiwa berbekal pengetahuan atas motif yang melatar belakangi segala peristiwa yang tersimpulkan dalam teks. Ini berarti pula bahwa pemahaman atas diri penulis sebuah karya sejarah, menduduki possisi yang sangat penting, sebab berangkat dari sinilah kesimpulan-kesimpulan kita. Di sisi lain, peluang munculnya prasangka subjektif adalah hal yang mungkin, akan tetapi upaya-upaya untuk menganalisis sebuah teks dalam perspektif yang objektif tetap kita upayakan.

Seorang peneliti juga harus mempergunakan intuisi, sebab keseimbangan antara rasio dan rasa harus dibuat mengingat bahwa yang rasional itu belum sepenuhnya benar, karena kita meneliti karya seseorang yang masih mungkin dihinggapi oleh berbagai prasangka dan kekeliruan. Seorang penafsir menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai perubahan, ia mengambil apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan.

Jadi dalam Hermeneutik, baik penafsir maupun yang diinterpretasi sama-sama punya andil yang besar dalam interpretasi yang benar. Dualitas peranan inilah yang menentang kesimpulan yang sempit dan ilmiah. Maka sudah seharusnyalah hermeneutic menjadi metode bagi ilmu-ilmu sosial.

demikianlah***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar