Selasa, 05 Juli 2011

LATAR SOSIAL KEHIDUPAN KARL MARX

Pemikiran Marx tidak terlepas dari situasi yang terjadi pada abab 18 dan 19 yaitu dampak dari Revolusi Industri di Inggris dan revolusi Perancis. Kondisi ini dapat dilukiskan dalam latar belakang sejarah yang dimulai sejak beberapa abad sebelumnya.

Zaman modern didahului dengan gerakan Renaissance dan reformasi gereja. Renaissans sendiri dapat diartikan sebagai gerakan untuk menggali kembali kebudayaan warisan Yunani dan Romawi yang tenggelam selama abad kegelapan (abad kegelapan memuncak pada filsafat Thomas Aquinas). Renaissans bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan manusia atas kemampuan rasio, sebagaimana yang pernah dilakukan pada masa Yunani. Abad pertengahan dalam peradaban barat merupakan sebuah era kemunduran intelektual. Refleksi atas rasio, refleksi atas alam, tidak menemukan signifikansinya. Perkembangan pemikiran pada abad pertengahan merupakan upaya penggalian dan pengembangan pemikiran agama dan metafisika. Sehingga segala persoalan mengenai alam dan manusia dikaji dan disandarkan pada pemahaman agama (terutama agama Kristen).

Sedangkan gerakan reformasi merupakan sebuah upaya kritik terhadap kebobrokan gereja, sebuah kritik terhadap absolutisme gereja katolik Roma, sebuah kritik terhadap manipulasi yang berlangsung didalam tubuh gereja katolik Roma yang secara perlahan mulai keropos dan hancur. Hegel mengatakan “gereja yang kedudukannya adalah untuk menyelamatkan jiwa dari kehancuran, membuat penyelamatan dirinya semata-mata sebagai alat lahiriah, dan kini mengalami kemerosotan sejauh melaksanakan tugas ini hanya secara lahir semata-mata... pengampunan dosa dibeli dengan uang semata-mata”. Perspektif kritik inilah yang mendasari gerakan reformasi yang dipimpin oleh Martin Luther (1483-1546) pada awal abad ke-16.

Abad pertengahan yang berkulminasi pada filsafat Thomas Aquinas, dengan legitimasi tanpa kritik atas dogma kristiani, menciptakan struktur sosial hanya pada penguasa dan rakyatnya, dimana kekuasaan raja merupakan hak yang diberikan oleh Tuhan, sehingga raja mewakili Tuhan dalam urusannya dengan manusia di dunia. Pada era pasca Aquinas, kritik tajam diarahkan pada gereja katolik lewat gerakan reformasi Martin Luther, kekuasaan raja pun dipertanyakan kembali, terutama berkaitan dengan hak Raja sebagai pemegang kuasa atas rakyat. Reformasi memberi ruang yang cukup lebar bagi kritik atas otoritas gereja katolik dan pandangan tentang kekuasaan raja. Sehingga mendorong lahirnya kebebasan berpikir, dan bermuara pada munculnya ide-ide baru tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibentuk, berlandaskan pada kebebasan sebagai manusia yang menjadi penguasa atas takdirnya sendiri, dan manusia sebagai makhluk yang memiliki seperangkat hak serta kedaulatan atas nasibnya sendiri.

Zaman aufklarung atau pencerahan di daratan Eropa yang dimulai sejak abad ke-18 (era dimana Marx dilahirkan), Zaman ini merupakan puncak kritik atas bangunan pemikiran abad kegelapan. Zaman aufklarung atau pencerahan ditandai dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dengan berbagai macam penemuan, dan berbagai modus kritik atas esensi agama dan kemanusiaan serta teknologi. Thomas Hobbes, Newton, John Locke, J.J. Rousseau, dan seterusnya, merupakan beberapa pemikir yang setidaknya mewakili langkah kritik besar atas pemikiran abad pertengahan.

Pada sisi lain, warisan Feodalisme masih mengakar cukup kuat dalam kehidupan bangsa-bangsa Eropa hingga pada era aufklarung. Tatanan yang feodalistik berupa pemberian legitimasi atas kelas-kelas masyarakat tertentu untuk memiliki sejumlah hak istimewa, tidak luput dari kritik keras yang berasal dari para pemikir era aufklarung. Berbagai kritikan ini mewabah bersama segudang ide tentang re-organisasi sosial masyarakat.

Revolusi industri di Inggris yang dipelopori oleh James Watt lewat penemuan mesin uapnya, revolusi sosial Perancis yang berhasil menumbangkan monarki Louis, merupakan bagian dari hingar-bingar zaman aufklarung. Revolusi industri di Inggris berhasil mengubah tatanan sosial masyarakat di daratan Eropa pada umumnya, yang sebelumnya masih bercorak tradisional dengan komoditas pertanian sebagai dasar kehidupan masyarakat, berganti ke corak produksi yang didasarkan pada idustrialisasi dan modernisasi diberbagai sektor kehidupan masyarakat. Dampak ini mewabah pada meningkatnya pengorganisasian kehidupan ekonomi secara besar-besaran untuk menunjang aktifitas produksi dari industri-industri dan pertanian yang telah di modernisasi.

Penguasaan atas tanah secara perlahan bergeser menjadi persaingan untuk menguasai industri-industri modern. Pemilik tanah mengorganisasi lahan pertanian secara intensif dengan pembagian kerja yang ketat, berbekal peralatan pertanian yang dimodernisasi. Sebaliknya, kelompok-kelompok kelas industrial baru bermunculan, yakni para pemilik pabrik. Mereka berasal dari kaum tukang atau kaum manufaktur skala kecil yang memiliki sedikit pemahaman tentang mekanika. Berbagai kelompok kapitalis yang berbeda-beda ini saling bersaing pengaruh terhadap kebijakan negara. kenyataan ini tidak mengubah satu prinsip yang paling mendasar, bahwa tetap ada sekelompok manusia yang berada pada kelas pemilik dan ada sekelompok manusia yang berada pada kelas yang bukan pemilik, yakni kelas pekerja.

Krisis atas kesewenang-wenangan raja, kaum bangsawan dan para pendeta, berhasil memicu reaksi yang kuat dari kalangan intelektual dan rakyat Perancis. Kondisi ini memuncak pada penyerangan terhadap penjara Bastille tangal 14 Juli 1789, yang merupakan simbol kesewenang-wenangan raja. Kejadian ini juga menjadi tonggak gerakan selanjutnya sebagai bagian dari gerakan perlawanan rakyat secara luas, revolusi pecah dan berhasil meruntuhkan kekuasaan raja Louis di Perancis, dan pada tahun 1793 raja dihukum dengan tuduhan persekongkolan. Situasi Eropa berubah secara sosial dan politik sejak Napoleon berkuasa pada tahun 1799, hal ini diakibatkan oleh serangkaian serangan dan ekspansi militer Napoleon yang berhasil meruntuhkan sejumlah kekuasaan Monarki di daratan Eropa. Perubahan juga terjadi tidak hanya secara sosial, tapi juga dalam aspek hukum dan tata kehidupan bernegara, reformasi dalam hal Legislasi, administrasi, pendidikan dan sebagainya.

Pasca revolusi berbagai polemik intelektual kembali mengemuka, ini tidak lain karena ekses revolusi yang menciptakan guncangan pada tatanan sosial masyarakat. Sehingga perdebatan intelektual yang mengemuka cenderung berkutat pada bagaimana mengkondisikan kembali masyarakat, sehingga kembali terciptanya suasana yang kondusif dalam tatanan kehidupan masyarakat yang kacau pasca revolusi. Pemikiran sosialisme (yang belakangan kembali dikritik oleh Marx sebagai utopis) mulai ditelorkan oleh beberapa pemikir Perancis pasca revolusi, sebagai sebuah langkah untuk mereorganisasi kembali tatanan sosial masyarakat. Bagi Proudhon, revolusi Perancis berhasil menciptakan kebebasan politis, tapi gagal memberi kebebasan ekonomis. Ini mencerminkan adanya dilema yang berhasil diciptakan oleh revolusi Perancis pada tata kehidupan ekonomis masyarakat. Sehingga, meskipun revolusi berhasil menghancurkan tata kehidupan feodal, pada saat yang sama justru melahirkan tata kehidupan baru yang tidak jauh berbeda dari tata kehidupan lama, lahirnya kelas borjuis sebagai kelas elit baru, atau setidaknya kelas pemilik baru menggantikan para bangsawan, tapi tetap dengan peran yang sama. Kelas-kelas baru ini berasal dari mereka yang berkontribusi dalam revolusi Perancis dan ikut mengambil peran dalam masa kekuasaan Napoleon.

Dampak sosial-politik revolusi Perancis yang ikut menggejala ke Inggris, setidaknya memberi sedikit bahan bagi refleksi atas kehidupan sosial di Inggris. Edmund Burke seorang pemikir konservatif Inggris menilai bahwa revolusi Perancis yang membawa semangat liberalisme, telah menggantikan ikatan komunal tradisional dengan hubungan-hubungan ekonomi, melalaikan nilai-nilai seperti solidaritas, cinta, kasih-sayang, dan rasa kebersamaan. Kedermawanan, tanggungjawab, kesabaran, rasa welas-asih, dan kerendahan hati justru dilecehkan, sedangkan egoisme, keserakahan, dan sikap tak menghargai dijunjung sebagai cita-cita baru. Pada era yang sama, revolusi Perancis juga ikut mempengaruhi kondisi internal di Jerman. Serangan Napoleon atas Jerman pasca revolusi di Perancis menjadikan Jerman tunduk dibawah jajahan Perancis, sehingga menciptakan sejumlah perubahan mendasar dalam tatanan sosial dan politik di Jerman.

Hegel memuji Jerman (Prussia) atas kemenangannya dalam perang membebaskan diri dari Napoleon dengan mengatakan “Frederick Agung menunjukan kekuatan yang independen atas kekuasaannya lewat perlawanannya hampir keseluruh eropa” . Sebaliknya Marx, mengutuk Frederik Agung dengan mengatakan “kebebasan mati didalam dada misi nasional Prussia dibawah kontrol para pembesar” . Ada fakta tentang setting politik yang sungguh menindas di Prussia setelah rakyat memenangkan peperangan dan kemerdekaan dari Napoleon. Polemik baru dari kondisi sosial baru, tentunya polemik yang ikut mengkonstruksi sejumlah gagasan-gagasan besar Marx. Bagaimanapun juga, keseluruhan rangkaian peristiwa ini merupakan satu kesatuan sejarah. Sehingga dapat dibaca sebagai sebuah polemik zaman yang telah melahirkan sejumlah kritik kritis Marx, juga keseluruhan rangkaian peristiwa ini merupakan bagian dari apa yang dikenal Marx sebagai “dialektika sejarah/dialektika historis”, ketika sejarah hadir lewat kehidupan manusia dari masa ke masa dengan sejumlah peristiwa-peristiwa sosio-ekonomis yang melatar-belakanginya, dan dengan motif-motif tertentu yang menjadi tujuannya.

Yang pasti, terlepas dari dinamika di tanah Eropa yang banyak memunculkan reaksi sosial-politis dari berbagai negara dan berbagai pemikir besar pasca revolusi Perancis, sumbangan terbesar dalam merombak tatanan sosial masyarakat Eropa secara keseluruhan tetap tidak bisa dinafikkan sungguh berasal dari revolusi industri. Patut disimak kembali bahwa kira-kira tahun 1870, Inggris telah mengembangkan industri manufaktur yang paling maju di dunia. Lebih dari sepertiga produksi industrial berlangsung di Inggris. Pada era yang sama, proses industrialisasi serupa pun telah cukup maju di negeri-negeri lain, terutama di Jerman, Perancis dan Amerika Serikat.

Perubahan ini tentunya memiliki efek yang cukup besar pada tatanan sosial dan relasi produksi masyarakat, dari tanah pertanian kaum feodal dan borjuis menuju kamp-kamp industri kaum kapitalis. Industrialisasi dan kapitalisme telah mengakhiri irasionalitas zaman tanah pertanian, pekerja lahan berupah dan eksploitasi dari kaum feodal serta borjuis. Namun kapitalisme justru menggantikannya dengan irasionalitas gaya baru, yakni irasionalitas kapitalisme sendiri, eksploitasi lewat kamp-kamp industri atas buruh/pekerja industri.

inilah berbagai realita yang menginspirasi Marx dalam menelorkan karya-karyanya, konteks sosial dimana seseorang hidup, tetaplah menjadi variabel mendasar, yang menjadi fondasi kritik dan sebagai pangkal perkembangan intelektual seorang tokoh. ***



DAFTAR PUSTAKA

Beilharz, Peter. 2005. Teori-teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Bertens, K. 2006. Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta. Kanisius.
Budi Hardiman, Fransisco. 2004. Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Duverger, Maurice. 2005. Sosiologi Politik, Diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae. Jakarta. RajaGrafindo Persada.
Fromm, Erich. 2004. Konsep Manusia Menurut Marx, Diterjemahkan oleh Agung Prihantoro. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
H. Hart, Michael. 2003. 100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Diterjemahkan oleh H. Mahbud Djunaidi. Jakarta. Pustaka Jaya.
Haramain, Abd. Malik. dkk. 2003. Pemikiran-pemikiran Revolusioner, Malang. Averroes Press.
Lekachan, Robert dan Borin Van Loon. 2008. Kapitalisme; Teori dan Sejarah Perkembangannya, diterjemahkan oleh Sita Hidayah. Yogyakarta. Resist Book.
Lukacs, Georg. 2010. Dialektika Marxis: Sejarah dan Kesadaran Kelas, Diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media.
Marx, Karl. 2004. Kapital, Sebuah Kritik Ekonomi Politik, Buku I. Di terjemahkan oleh Oey Hay Djoen. Jakarta. Hasta Mitra.
Ritzer,George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern, Diterjemahkan oleh Alimandan. Jakarta. Kencana.
Skousen, Mark. 2009. Sang Maestro “Teori-teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran Ekonomi, Diterjemahkan oleh tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta. Prenada Media Group.
Suseno, Franz Magnis. 2005. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar