Selasa, 31 Mei 2011

MENGINTIP KELAS SOSIAL DARI JENDELA MARXIST

pemaknaan atas kelas sosial telah memberi pengertian yang terlampau beraneka rupa terhadap penulis. Bagi penulis, kelas sosial (berdasarkan alasan teoritik manapun juga), tetaplah merupakan fakta perjenjangan, yang secara umum membagi masyarakat pada dua struktur kelas. Yang pertama adalah kelas atas yang berada pada posisi yang mendominasi, dan yang kedua adalah kelas bawah yang berada pada posisi yang tersubordinasi. Tak perlu mengikuti Nietzsche yang membagi manusia pada dua kelas sebagai ubermensch dan Untermensch, yang bisa diartikan sebagai manusia-manusia atas dan manusia-manusia bawah (manusia-manusia kawanan). Yang berada pada ubermensch hanya terdiri atas beberapa orang (elit) dan untermensch yang terdiri dari khalayak yang hanya hidup dibawah kendali opini-opini buatan ubermensch.

Juga tak perlu mengacu pada system catur warna dalam hindu (yang kini direduksi maknanya menjadi sistem kasta), yang membagi masyarakat kedalam empat klasifikasi, yakni; Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Meskipun dalam beberapa penjelasan ke-empat kasta ini memiliki hubungan timbal balik yang saling memenuhi dan saling menguntungkan (hubungan yang bersifat horisontal), akan tetapi, tetaplah ada system norma yang memberi sekat, yang membatasi hubungan diantara mereka. Yang satu sebagai yang inferior, dan yang satu sebagai yang superior (sehingga menjadi hubungan yang bersifat vertikal), dikarenakan hak-hak sosial mereka yang cenderung berbeda karena diatur dan dibatasi oleh norma yang dilegitimasi entah oleh aspek agama (doktrin Hindu), atau entah oleh kebudayaan mereka yang memang cenderung untuk terus dipertahankan.

Pada sisi yang berbeda, marxisme memiliki perspektif yang juga berbeda. Kelas sosial menurut Marx lahir dari hubungan-hubungan produksi. Hubungan-hubungan produksi yang dimaksud tidak hanya terjadi pada dunia modern, dimana makna kata produksi cenderung direduksi sebagai “in-put, prosess, out-put” dalam industri-industri modern. Akan tetapi lebih dari itu, kata “produksi’ juga telah memperoleh maknanya sebelum era industrialisasi, ketika “Petani” menjadi sekawanan manusia penghasil komoditas pertanian bagi kaum borjuis, bahkan ketika perbudakan masih menggejala, ketika para budak di timur tengah membangun Pyramid untuk Pharao, atau ketika rakyat China membangun The Great Wall untuk melindungi kekuasaan Shih Huang Ti. Ini adalah sejarah panjang eksploitasi manusia atas manusia, ini juga merupakan fakta penindasan manusia atas manusia, dan inilah fakta klasifikasi manusia, peng-kelas-an manusia, antara kelas atas (yang memberi perintah) dan kelas bawah (sebagai yang hidup dibawah perintah).

Revolusi industri (utamanya), telah menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma pembangunan ekonomi dan akumulasi kekayaan, dari yang sebelumnya bersifat tradisional (yang pada umumnya masih mengandalkan tanah sebagai modal akumulasi kekayaan) lewat kaum borjuis pemilk tanah, lalu menjadi lebih modern lewat industri-industri (entah industri apapun itu). Dan dari petani sewaan berupah, menjadi buruh pekerja berupah. Perubahan-perubahan ini tetap tidak merubah satu prinsip yang khas, yakni mekanisme penindasan terhadap kelas pekerja (entah buruh tani atau buruh industri).

Marx sungguh tajam dan analitik, Ia menyimpulkan bahwa sesungguhnya kaum kapitalis telah memanggil roh kelas yang akan menghancurkan dirinya sendiri, yakni kelas proletar. Seolah-olah, kaum (kelas) kapitalis sedang menggali lubang untuk kuburannya sendiri. Proses eksploitasi yang berlangsung akan menciptakan kemiskinan bagi banyak orang, dan pada sisi lain akan menghasilkan kekayaan bagi sedikit orang. Sungguh ironis, bahwa kelas tertindas ini suatu saat akan bangkit dengan kekuatan tiada tara, dengan kuantitas yang tidak sebanding dengan jumlah kaum kapitalis yang terlampau sedikit, dan kian sedikit. Karena akumulasi kekayaan, juga melahirkan monopoli dan kompetisi yang timpang. Akan semakin banyak orang yang terseret masuk ke barisan kelas proletar, karena mereka menjadi jatuh miskin diakibatkan oleh ketidak-mampuan mereka untuk bersaing dan berkompetisi dengan para kapitalis yang memiliki kapital (modal) dengan jumlah yang kian hari kian menumpuk. Seolah-olah, akan muncul barisan-barisan sakit hati yang siap bergabung dengan kaum proletar untuk menghancurkan kapitalisme.

Kata Marx “sejarah perjuangan manusia adalah sejarah perjuangan kelas”, yang menandakan bahwa dalam setiap etape sejarah, kelas pekerja adalah mereka yang tereksploitasi dan tersubordinasi, menjadi pejuang yang berjuang untuk bebas dan merdeka. Hanya saja, perjuangan kelas-kelas yang tersubordinasi ini senantiasa lahir tanpa kesadaran kelas yang kokoh serta tanpa landasan teori, tanpa landasan ideologi yang kokoh. Maka analisis Marx menjadi kunci untuk memberi landasan pada kesadaran kelas, membongkar detail mekanisme eksploitasi untuk melahirkan teori yang mumpuni, dan memberi pijakan ideologis yang revolusioner. Buruh pekerja harus memahami dunianya agar mereka bergerak dengan berkelompok, dengan mata terbuka dan kepala berisi.

Apa tujuan perjuangan kelas tertindas ini? Ya, untuk meciptakan masyarakat yang tanpa kelas. Sebuah masyarakat dimana setiap orang diberi sesuai kebutuhannya dan bekerja sesuai kemampuannya. Apakah ini rasional? Entahlah, tapi inilah yang menjadi fokus perdebatan seputar sisi utopisme dalam konsep-konsep Marx, yang tidak perlu kita perdebatkan dalam kesempatan ini, karena bukan hak kita. Karena kita bukan creator, kita hanyalah sekumpulan manusia follower yang tidak tahu diri. Dan entah utopia itu berasal dari Marx, atau berasal dari Thomas Moore (sebagaimana pendapat Franz Magnis-Suseno), tetap tidak akan merubah kenyataan sejarah, bahwa Marx telah ”melemparkan saputangannya ke wajah dunia”, sapu tangan usang berdaki yang telah memberi warna tersendiri (meskipun sedikit berdaki) terhadap sejarah umat manusia.

Penulis tidak ingin berpanjang lebar lagi, terlalu lelah untuk menulis cuplikan-cuplikan yang tidak berguna semacam ini. Penulis tidak memperoleh duit sesenpun dengan menyebarkan tulisan ini ke forum maya, tapi inilah keinginan penulis. Bagaimanapun juga, apa yang penulis sampaikan bukanlah omong kosong belaka, itulah yang penulis tahu dan penulis pahami. Penulis hanya ingin memberi sedikit cuplikan, tanpa keinginan untuk memberi tahu dan memaksakan apa yang diketahui agar dijadikan referensi bagi yang berniat untuk “mencuri” cuplikan ini. sungguh tidak seorangpun manusia berotak waras yang berani berkata bahwa “saya telah mengajari seseorang dengan banyak hal, karena orang itu tidak mengerti apa-apa”. Sungguh picik jika ada yang berani berujar demikian.***.

Senin, 30 Mei 2011

TALIABU; MEMUPUK BENIH KONFLIK HORISONTAL

Anarkisme sipil (pengrusakan rumah dan penjarahan harta benda serta kekerasan fisik) yang terjadi Di Desa Mananga dan Jorjoga Kec.Taliabu Utara Kab.Kep Sula sejak tanggal 16 september lalu adalah bagian dari rangkaian jalinan panjang konflik yang tidak bisa dilepas-pisahkan dari konflik politik, ekses bias Pemilukada kab. Kep. Sula sejak pra momen dan pasca momen pemilihan Bupati dan Wakil bupati yang diselenggarakan tanggal 17 Juli lalu. Tak perlu di tutup-tutupi, bahwa akses informasi dan komunikasi yang sangat terbatas memungkinkan wilayah Taliabu menjadi Daerah yang paling terisolasi di Jazirah propinsi Maluku Utara. Sehingga beragam peristiwa yang membuat miris nurani orang yang masih memiliki nurani sebagai manusia, tidak terpublikasi ke mata dan telinga masyarakat luas.

Peristiwa ini adalah satu dari sekian ratus peristiwa yang sempat terpublikasi. Selebihnya mengendap dan ditelan waktu, hanya mampu terekam dalam pita sejarah milik mereka yang didera derita sebagai orang-orang yang sudah ditakdirkan untuk hidup dalam sebuah babak sejarah penindasan tanpa ampun, buah otonomisasi. ± 500 KK dari beberapa desa dipastikan akan meninggalkan Pulau Taliabu dalam kurun September hingga Desember 2010. hingga saat ini, sudah ± 100 KK yang meninggalkan Pulau Taliabu, dominan ke Kabupaten Wakatobi (tanah leluhur mereka), berniat untuk tinggal dan menetap secara permanen disana (pengakuan pelaku migrasi). Apa sebabnya?,

pertama; diskriminasi pendidikan, peserta didik yang orang tuanya tidak memilih kandidat terlantik (AHM-SP) dibebani biaya SPP 50.000 per-bulan dan mereka yang orang tuanya memilih kandidat terlantik tetap tidak dipungut biaya apapun sebagaimana biasanya, selanjutnya peserta didik yang orang tuanya tidak memilih kandidat terlantik sudah diberi ketegasan oleh oknum kepala sekolah dan oknum-oknum guru untuk tidak perlu naik kelas dan diupayakan tidak perlu lulus ketika mengikuti ujian nasional (UNAS), diperparah dengan perlakuan diskriminasi lain dan tekanan psikis kepada peserta didik pada sekolah masing-masing, yang bisa membuat miris nurani mereka yang ditimpa kemalangan ini, ya, inilah contoh guru teladan kita, pahlawan tanpa tanda jasa yang gila kuasa, pegawai fungsional yang takut dimutasi, penjilat pimpinan agar dana BOS tetap bisa ke kantong untuk menutupi jumlah uang hasil gaji yang terbuang percuma selama pra momentum pilkada 17 juli guna memenangkan kandidat terlantik.

Kedua; retribusi omong kosong tanpa PERDA maupun PERDES, program minta-minta sumbangan (uang) kepada masyarakat yang sudah miskin melarat, dipimpin oleh aparat pemerintah kecamatan dan desa untuk membangun infrastruktur tertentu. Jangan-jangan, infrasruktur yang hendak dibangun sudah di anggarkan dalam APBD tahun-tahun sebelumnya, sudah melewati tahapan pencairan 100% tapi infrastrukturnya tidak dibangun?, lalu kemana duitnya?

Ketiga; teror, penghancuran dan penjarahan harta benda, ancaman pembunuhan, kekerasan fisik, tanpa henti dari kelompok mayoritas yang merupakan pemenang kompetisi pada pemilukada Kep. Sula terhadap kelompok minoritas yang tidak memilih kandidat pemenang pada pemilukada 17 juli lalu.

Apa mungkin demokrasi tidak menghendaki perbedaan? Bukannya demokrasi itu lahir karena adanya perbedaan?, tapi jika kenyataan yang terjadi adalah demikian, lalu siapa yang harus membela orang-orang dari kelompok minoritas terjajah, tertindas, terancam ini agar memperoleh keadilan? Agar memperoleh perlindungan hukum sehingga tidak melukai rasa keadilan dan hasrat hidup mereka untuk bisa hidup dalam suasana aman, tentram, damai, tanpa teror, tanpa ancaman, tanpa intimidasi dan kekerasan di sebuah Negara yang katanya adalah Negara hukum?

Tak perlu terjekut, kaget dan terperanjat. Instrumen kekuasaan pada daerah dimana seluruh rangkaian kisah ini terjadi, “mungkin” justru menjadi benteng baja yang siap memberikan perlindungan kepada siapapun yang mau menteror, mengancam, mengintimidasi, dan melakukan rupa-rupa tindakan kekerasan dan kriminalisme lainnya kepada orang-orang dari kelompok minoritas termaksud diatas. Apa kita sedang menuduh?, ya, karena pola kekerasannya sangat sistematis dan terencana, dipimpin oleh aparat-aparat pemerintah desa, pegawai-pegawai negeri sipil, bahkan sanak family kandidat terlantik. Lalu kenapa main tuduh?, ya, karena kelompok mayoritas semestinya mengayomi dan melindungi kelompok minoritas, juga karena tidak ada upaya rekonsoliasi untuk meredam kondisi ini, upaya rekonsiliasi yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah agar masyarakatnya tidak saling membunuh. Apa mungkin bisa begitu?, ya, mungkin saja, karena kadang-kadang kekuasaan menggunakan kekerasan sebagai cara terbaik untuk menundukkan dan menaklukkan hati dan semangat perlawanan yang sekalipun keras ibarat baja. Atau mungkin seluruh rangkaian kejadian dan peristiwa ini di luar sepengetahuan pemerintah daerah kita?, ya, “mungkin” saja. Lalu kenapa aparat penegak hukum kita cenderung diam?, ya, mungkin karena takut bertindak menegakkan keadilan atau karena sudah disuap, atau karena mereka mesra dengan pelaku tindak kriminal, atau mungkin karena benar-benar takut dengan nama besarnya pelaku tindak kriminal.

Kenapa sebuah kejahatan harus dilindungi?, kenapa sebuah tindak kriminalisme dan penindasan penguasa atas rakyatnya harus dibiarkan tumbuh subur disebuah negeri yang sebagian rakyatnya menghendaki sebuah perlakuan adil tanpa diskriminasi, sebuah pengayoman, sebuah rasa aman, sebuah harmoni yang permanen?, kenapa tirani kekuasaan atas rakyat dijadikan sebagai hal yang wajar dan biasa? Kenapa penegakan hukum di negeri ini selalu lamban, menunggu sampai rakyat mencela mereka!?.
Mari berharap, semoga seluruh rangkaian peristiwa ini tidak berujung pada konflik berdarah yang lebih hebat lagi antar-massa rakyat. Mari berdoa, semoga dilema dan kepiluan ini tidak berujung pada rasa putus asa dan gelap mata. Tuhan, tolong lindungi mereka, ayomi mereka dengan kesabaran, keteguhan sikap dan ketabahan…***

Minggu, 29 Mei 2011

31 MEI UNTUK RAKYAT SULA

Engkau yang berani dan berhati singa...!

Engkau yang sanggup menyulut api reformasi...!

Engkau yang sanggup membangkitkan hasrat perang rakyat TriSula...!

Engkau akan beragitasi dan berproganda menyulut gairah rakyat untuk berjuang menegakkan harga diri dan kehormatannya, membangkitkan seluruh semangat pembebasan yang terbaring di hati mereka, mencairkan semangat perubahan yang membatu di dada mereka...!

Dan jika tiba saatnya,

Massa si lapar, si miskin, si hina, si melarat...!

Massa pemegang pacul, parang, dayung, dan pemikul karung...!

Renggutlah massa-massa kotor itu dari tempat-tempat hunian kumuh mereka, antar mereka ke jalan. dan pada waktu yang bersamaan, beberapa dari saudarama yang revolusioner telah memulai hal yang sama, dari sudut kota yang lain. lalu, ajak terus mereka, gerakkan terus massa itu, arahkan mereka ke tempat-tempat konsentrasi massa yang lainnya, renggutlah, dan terus bawa massa-massa baru yang terus bergabung itu secara bersamaan ke jalanan, demikian seterusnya bergerak dari konsentrasi massa yang yang satu ke tempat konsentrasi massa yang lainnya...!

Dengan terus menjadi lebih besar di jalanan, menyeruak, beringas, dan menyapu bersih hadangan-hadangan polisi, dengan menganggu dan menarik orang-orang yang lewat untuk bersimpati. Terus arahkan mereka dengan komando dan teriakan-teriakan yang membangkitkan gairah revolusi mereka, biarkan darah mereka mendidih, biarkan mereka ikut berteriak lantang menantang...!

Terus bergerak, dan tampung barisan massa yang datang dari arah terbalik, bergabung dan membesar menjadi lautan massa di jalanan, berbekal gairah dan semangat pemberontakan yang tertanam di dada mereka, dengan itu akan termodifikasi aturan dalam massa yang di gerakkan dengan satu teriakan komando dan satu telunjuk dari jari yang kokoh kuat.

Lalu, ambil alih gedung-gedung penting, fasilitas-fasilitas umum, fasilitas-fasilitas pemerintahan. Kondisi ini akan menciptakan kelumpuhan total pada mesin birokrasi, kelumpuhan total berhari-hari pada simpul-simpul perekonomian daerah, akan terjadi krisis dan memuncak pada ketidakpuasan massa rakyat yang lalu menuntut digulingkannya singgasana reot sang penguasa tua bermuka keriput yang mulai bermuram durja.

Dan waktu berselang, kepemimpinan massa akan mengambil alih kendali pemerintahan.

beberapa intelektual terus memprovokasi media demi kepentingan pergerakan, demi kepentingan massa, Sampai kondisi terkendali.

Hingga akhirnya, kejatuhan penguasa menjadi hukum alam yang semestinya berlaku, menjadi takdir yang sewajarnya bagi sebuah sejarah...

Sabtu, 28 Mei 2011

PERILAKU KORUP

Terlampau sempit jika kita hanya mendefinisikan korupsi sebagai tindakan “menyimpang” yang dilakukan oleh orang-orang tertentu (pejabat/penyelenggara negara), yang memanfaatkan posisi, wewenang dan kesempatannya untuk menguras kekayaan negara demi kepentingan memperkaya diri dan kelompok. Jika terminologi semacam ini yang kita gunakan untuk mendefinisikan “apa itu korupsi?”, maka kita telah sengaja menjebak diri untuk berenang kedalam lautan dangkal logika. Tentunya ada kerangka dasar yang mesti kita pahami, yang melandasi setiap terminologi. Boleh jadi, sejarawan semisal Ong Hok Ham memberi batasan korupsi hanya pada perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pejabat publik, karena Ong Hok Ham mengkaji akar sejarah “korupsi” sebagai perilaku yang muncul ketika masyarakat manusia sudah mulai mengenal sistem pemerintahan. Sehingga dia cenderung menyandarkan definisinya semata-mata hanya pada penyimpangan atas kekayaan negara yang merupakan hak rakyat. Tak banyak berbeda dengan definisi yang termaktub dalam Undang-undang.

Sesungguhnya makna kata ‘korupsi’ memiliki cakupan yang cukup luas, bukan hanya pada tindakan penyelewengan harta negara (rakyat), tapi “korupsi” juga mencakup segala tindak penyelewengan yang substansinya adalah sebuah tindakan amoral untuk menghindari tanggungjawab, pemenuhan berlebih atas kepentingan diri, keluarga dan kelompok diluar batasan hak yang telah ditetapkan sesuai prinsip-prinsip hukum dan moral.

Bagi Indonesia, persoalan korupsi merupakan persoalan sejarah. artinya, sejarah Indonesia cenderung berlangsung pada lokus pertarungan antara hukum melawan korupsi. Dalam setiap dekade, wacana pemberantasan korupsi tetap menjadi jargon sejarah, seolah tak pernah henti-hentinya bangsa ini menyatakan perang terhadap korupsi. Ini terlampau aneh bagi sebuah bangsa dengan produk hukum yang begitu banyak variannya dalam soal pemberantasan korupsi. Ditunjang oleh beberapa institusi yang juga memiliki tanggungjawab yang sama sebagai penegak hukum terutama dalam tindak pemberantasan korupsi (Polri, Kejaksaan, KPK). memberantas korupsi di negara ini, ibarat memberantas virus maha sadis tak tahu mati, yang ketika satu induk diberantas, pada saat yang jauh sebelumnya, ternyata telur-telurnya sudah menetas dan beranak pinak dalam jumlah yang kian banyak. Dan, satu induk yang diberantas tersebutpun sangatlah anti-mati, ibarat makhuk yang memiliki kelainan genetik, sehingga ketika dibunuh dan mati, maka dia akan kembali kedalam kepompongnya untuk bermutasi genetik ke jenis yang lainnya, kembali terlahir dan kembali dengan teror yang pada akhirnya para pembunuhnya-pun kembali terbunuh oleh senjata dan lewat cara yang sama. Karena kepompongnya memiliki daya tarik maha dahsyat, mampu menyihir seorang anak manusia berakal sehat untuk masuk kedalam lingkaran persekongkolan untuk melakukan tindak kejahatan bersama.

Beberapa kasus yang akhir-akhir ini mengemuka, mengindikasikan begitu panjang dan lebarnya ruang-ruang gelap untuk berkonspirasi, menguras hak-hak orang lain untuk kepentingan diri dan kelompok, memanfaatkan peluang dan kesempatan, bermodalkan jabatan seadanya. pegawai kelas teri semisal Gayus saja, sudah berhasil menggarong harta yang diprediksi mendekati angka 100 M, bermodalkan jabatan yang tidak seberapa, tapi dengan peluang yang terbuka, kesempatan yang tepat dalam kondisi yang tepat pula. Mengail di air jernih, dapat ikan bagus dan gemuk (Bakrie Group, etc.). Pegawai rendahan di instansi “basah”, yang tidak memiliki kuasa yang cukup untuk mengendalikan kebijakan instansi, tapi benar-benar bisa mandi dan basah kuyup. Bagaimana dengan pegawai pada instansi yang sama, yang memiliki eselon tinggi, lalu punya kuasa untuk mengendalikan kebijakan instansi?, atau pada instansi lain yang sama-sama basah, dan didukung oleh eselon yang cukup dan dengan kuasa yang cukup, sebagai pengendali kebijakan atau sebagai pengambil kebijakan, tidakkah ini membuat risau jiwa mereka yang mencintai hak diri, kewajaran, kesederhanaan, kejujuran dan keadilan ditegakkan di bangsa ini?.

Sebegitu rumit dan berbelit-belitnya polemik Gayus, menguras waktu, sumberdaya dan energi bangsa untuk menyelesaikannya. Menyeret banyak pihak, menjerumuskan banyak orang dalam perangkap-perangkap gampangan, murahan. Sebegitu mudahnya aparat penegak hukum diperangkap, sebegitu murahnya harga diri dan kesetiaan orang-orang ini terhadap hukum digadaikan.

Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi lamban, rumit, dan tak kunjung tuntas, mungkin juga karena disebabkan oleh tidak konsistennya aparat penegak hukum untuk benar-benar menyatakan perang terhadap korupsi. Satu tersangka pelaku tindak pidana korupsi, bisa menyeret beberapa aparat penegak hukum untuk ikut ambil bagian, menjadi lakon, sutradara, pemeran pengganti, konspirator, yang dengan paradigma suap menyuap yang membudaya, merekapun ikut mencicipi kue yang maha lezat itu. Pemberantasan korupsi bisa dianggap hanya sebagai jargon retoris belaka. Tak bisa dibedakan, antara mana terpidana kasus korupsi dan mana aparat penegak hukum yang mempidakan tersangka. Karena ternyata, pada akhir kisahnya justru yang membuat vonis bisa sama-sama dipenjara bersama si ter-vonis. Bukankah ini menandakan bahwa aparat penegak hukum kita terlampau bermain-main dan menganggap sepele produk hukum yang hendak di tegakkannya?.

“seorang perempuan sebaiknya jangan dahulu menikah sebelum ia tahu bagaimana cara merawat dan mengasuh bayi”. Kita menjadi kebingungan, mana yang lebih dahulu hendak diberantas, apakah mafia penggarong, rampok (semisal gayus si mafia pajak di institusi perpajakan) yang terdapat dihampir semua institusi di bangsa ini?. ataukah mafia hukum yang marak di institusi-institusi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, KPK)?.

Tapi sesungguhnya jika ditelaah, bukanlah institusi penegak hukum yang terlampau kurus dan lemah (hingga dibentuk KPK, Kompolnas, Satgas Ati Mafia Hukum, dibantu oleh masyarakat umum lewat puluhan LSM-LSM – jadinya malah overlapping), bukan pula mekanisme sistem yang lemah dalam memonitoring, dan mengkoordinasi pengambilan kebijakan untuk memberantas korupsi. Tapi kelemahan ini terletak pada;

pertama; produk hukum. sanksi hukum yang terlampau ringan bagi terpidana tindak pidana korupsi. Sehingga tidak memberi efek jera yang berarti untuk menghindari terjadinya tindak pidana serupa, baik oleh oknum yang sama, maupun oleh oknum lain yang juga memiliki peluang dan kesempatan yang cukup untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Sesungguhnya tidak ada rasa sakit yang melebihi rasa sakit ketika orang kehilangan salah satu anggota tubuhnya, rasa sakit yang bisa membuat rapuh mental “manusia”nya. Tidak ada rasa takut yang melebihi rasa takut manusia terhadap yang namanya “maut” dan “kematian”. Solusi hukum “Potong tangan”, dan hukum “gantung” atau eksekusi “mati” bagi terpidana korupsi, bukankah ini menjadi alternatif yang menarik?. Tangan yang “nakal” pengambil hak orang harus dipotong (solusi, jika nominal penyelewengan dibawah 1 M). selanjutnya, pertimbangan HAM, masih bisa diperdebatkan kembali, maka mengeksekusi mati satu manusia (solusi, jika nominal penyelewengan diatas 1 M), lebih mulia dibandingkan dengan membiarkannya hidup dimuka bumi, dibiarkan menjadi manusia “korup” perampas hak orang lain, yang pada akhirnya memudaratkan berjuta-juta manusia lainnya, membunuh secara perlahan berjuta-juta manusia lainnya. Mana yang lebih tidak manusiawi, membiarkan satu manusia hidup sebagai virus yang menggerogoti dan menebar nestapa bagi banyak manusia lainnya, atau membunuh satu manusia untuk menyelamatkan berjuta-juta manusia lainnya? (Karena efek jera yang menjadi entri poin kita).

Kedua; bangunan paradigma kita. Inilah yang dimaksudkan dengan “makna kata korupsi yang memiliki cakupan yang cukup luas”, yang tidak hanya sekedar makna praktis sebagaimana yang dipertontonkan oleh para “koruptor” kita saat ini. Kita membudayakan praktek-praktek korupsi mulai dari yang paling terkecil, mulai dari lingkungan yang paling sederhana. Indisipliner, mangkir, Seseorang yang menyeleweng dari tanggungjawabnya, seseorang yang mengambil lebih dari sekedar hak yang patut didapatkannya, adalah variabel-variabel budaya korup yang dengan perasaan bangga kita akrabkan dalam praktek keseharian kita, bersama tindakan-tindakan amoral lainnya. Hingga memang akan terasa hambar, ketika satu jari menunjuk dan menuduh, ternyata keempat jari yang lainnya justru menunjuk dan menuduh diri sendiri. Seperti berkaca dan meracau didepan cermin, menunjuk dan berteriak-teriak, memaki-maki orang yang berdiri didalam cermin sebagai manusia “korup”, laknat, tak tahu malu, yang ternyata adalah diri kita sendiri. Sehingga menjadi sulit untuk memberantas korupsi ketika hakikat nilai dari korupsi itu sendiri, tidak lain adalah entitas budaya kita sendiri. Semua mempraktekkan hal yang sama, dan semua generasi tumbuh dalam bangunan paradigma yang sama dengan para “sepuh”nya. Sehingga koruptor tua mati, koruptor muda sudah dewasa dan siap melanjutkan wasiat moyangnya. Bisakah wasiat kuno, aib, murahan, amoral semacam ini kita lenyapkan dari budaya yang telah sebegitu menyatu bersama darah, daging dan sum-sum kita?.


Wahai panglima!, wahai jagoan! Jangan bergumam, jangan meracau konyol dibalik bahu kawanmu!, lihatlah debu di lengan kemeja merahmu, pulanglah!, pulang dan bersihkan lagi kemejamu…!, andaikan sudah bersih, mereka mungkin tetap ragu, pundakmu juga berdaki…!
***

SEKILAS TENTANG SOSIOLOGI

Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat.

Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya.[rujukan?] Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.

Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai organisasi politik, ekonomi, sosial.

1. Sejarah istilah sosiologi

• 1842: Istilah Sosiologi sebagai cabang Ilmu Sosial dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, bernama August Comte tahun 1842 dan kemudian dikenal sebagai Bapak Sosiologi.[rujukan?] Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat lahir di Eropa karena ilmuwan Eropa pada abad ke-19 mulai menyadari perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan sosial.[rujukan?] Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia.[rujukan?] Comte membedakan antara sosiologi statis, dimana perhatian dipusatkan pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat dan sosiologi dinamis dimana perhatian dipusatkan tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan. Rintisan Comte tersebut disambut hangat oleh masyarakat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang sosiologi.[rujukan?] Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya berasal dari Eropa).[rujukan?] Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna untuk perkembangan Sosiologi.

• Émile Durkheim — ilmuwan sosial Perancis — berhasil melembagakan Sosiologi sebagai disiplin akademis.[rujukan?] Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.

• 1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.

• Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap konflik antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan masyarakat.

• Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku manusia.

• Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology.

2. Pokok bahasan sosiologi

Pokok bahasan sosiologi ada empat:

a. Fakta sosial sebagai cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu dan mempunya kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut.[rujukan?]
Contoh: di sekolah seorang murid diwajidkan untuk datang tepat waktu, menggunakan seragam, dan bersikap hormat kepada guru. Kewajiban-kewajiban tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan mengendalikan individu (murid).

b. Tindakan sosial sebagai tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain.
Contoh: menanam bunga untuk kesenangan pribadi bukan merupakan tindakan sosial, tetapi menanam bunga untuk diikutsertakan dalam sebuah lomba sehingga mendapat perhatian orang lain, merupakan tindakan sosial.

c. Khayalan sosiologis sebagai cara untuk memahami apa yang terjadi di masyarakat maupun yang ada dalam diri manusia.[rujukan?] Menurut Wright Mills, dengan khayalan sosiologi, kita mampu memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara keduanya. Alat untuk melakukan khayalan sosiologis adalah persmasalahan (troubles) dan isu (issues). Permasalahan pribadi individu merupakan ancaman terhadap nilai-nilai pribadi. Isu merupakan hal yang ada di luar jangkauan kehidupan pribadi individu.
Contoh: jika suatu daerah hanya memiliki satu orang yang menganggur, maka pengangguran itu adalah masalah. Masalah individual ini pemecahannya bisa lewat peningkatan keterampilan pribadi. Sementara jika di kota tersebut ada 12 juta penduduk yang menganggur dari 18 juta jiwa yang ada, maka pengangguran tersebut merupakan isu, yang pemecahannya menuntut kajian lebih luas lagi.

d. Realitas sosial adalah penungkapan tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga oleh sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif.

3. Ciri-Ciri dan Hakikat Sosiologi

Sosiologi merupakan salah satu bidang ilmu sosial yang mempelajari masyarakat. Sosiologi sebagai ilmu telah memenuhi semua unsur ilmu pengetahuan. Menurut Harry M. Johnson, yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, sosiologi sebagai ilmu mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut:
• Empiris, yaitu didasarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat spekulasi (menduga-duga).

• Teoritis, yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil observasi yang konkret di lapangan, dan abstraksi tersebut merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun secara logis dan bertujuan menjalankan hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori.

• Komulatif, yaitu disusun atas dasar teori-teori yang sudah ada, kemudian diperbaiki, diperluas sehingga memperkuat teori-teori yang lama.

• Nonetis, yaitu pembahasan suatu masalah tidak mempersoalkan baik atau buruk masalah tersebut, tetapi lebih bertujuan untuk menjelaskan masalah tersebut secara mendalam.

Hakikat sosiologi sebagai ilmu pengetahuan sebagai berikut.[2]
• Sosiologi adalah ilmu sosial karena yang dipelajari adalah gejala-gejala kemasyarakatan.

• Sosiologi termasuk disiplin ilmu normatif, bukan merupakan disiplin ilmu kategori yang membatasi diri pada kejadian saat ini dan bukan apa yang terjadi atau seharusnya terjadi.

• Sosiologi termasuk ilmu pengetahuan murni (pure science) dan ilmu pengetahuan terapan.

• Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan abstrak dan bukan ilmu pengetahuan konkret. Artinya yang menjadi perhatian adalah bentuk dan pola peristiwa dalam masyarakat secara menyeluruh, bukan hanya peristiwa itu sendiri.

• Sosiologi bertujuan menghasilkan pengertian dan pola-pola umum, serta mencari prinsip-prinsip dan hukum-hukum umum dari interaksi manusia, sifat, hakikat, bentuk, isi, dan struktur masyarakat manusia.

• Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional. Hal ini menyangkut metode yang digunakan.

• Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan umum, artinya sosiologi mempunyai gejala-gejala umum yang ada pada interaksi antara manusia.

4. Objek Sosiologi

Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan mempunyai beberapa objek.
• Objek Material
Objek material sosiologi adalah kehidupan sosial, gejala-gejala dan proses hubungan antara manusia yang memengaruhi kesatuan manusia itu sendiri.

• Objek Formal
Objek formal sosiologi lebih ditekankan pada manusia sebagai makhluk sosial atau masyarakat. Dengan demikian objek formal sosiologi adalah hubungan manusia antara manusia serta proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.

• Objek budaya
Objek budaya salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hubungan satu dengan yang lain.

• Objek Agama
Pengaruh dari objek dari agama ini dapat menjadi pemicu dalam hubungan sosail masyarakat.dan banyak juga hal-hal ataupaun dampak yang mempengaruhi hubungan manusia.

5. Ruang Lingkup Kajian Sosiologi

Sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi mengkaji lebih mendalam pada bidangnya dengan cara bervariasi.[4] Misalnya seorang sosiologi mengkaji dan mengamati kenakalan remaja di Indonesia saat ini, mereka akan mengkaji mengapa remaja tersebut nakal, mulai kapan remaja tersebut berperilaku nakal, sampai memberikan alternatif pemecahan masalah tersebut. Hampir semua gejala sosial yang terjadi di desa maupun di kota baik individu ataupun kelompok, merupakan ruang kajian yang cocok bagi sosiologi, asalkan menggunakan prosedur ilmiah. Ruang lingkup kajian sosiologi lebih luas dari ilmu sosial lainnya.[5] Hal ini dikarenakan ruang lingkup sosiologi mencakup semua interaksi sosial yang berlangsung antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok di lingkugan masyarakat. Ruang lingkup kajian sosiologi tersebut jika dirincikan menjadi beberapa hal, misalnya antara lain:
• Ekonomi beserta kegiatan usahanya secara prinsipil yang berhubungan dengan produksi, distribusi,dan penggunaan sumber-sumber kekayaan alam;

• Masalah manajemen yaitu pihak-pihak yang membuat kajian, berkaitan dengan apa yang dialami warganya;

• Persoalan sejarah yaitu berhubungan dengan catatan kronologis, misalnya usaha kegiatan manusia beserta prestasinya yang tercatat, dan sebagainya. Sosiologi menggabungkan data dari berbagai ilmu pengetahuan sebagai dasar penelitiannya. Dengan demikian sosiologi dapat dihubungkan dengan kejadian sejarah, sepanjang kejadian itu memberikan keterangan beserta uraian proses berlangsungnya hidup kelompok-kelompok, atau beberapa peristiwa dalam perjalanan sejarah dari kelompok manusia. Sebagai contoh, riwayat suatu negara dapat dipelajari dengan mengungkapkan latar belakang terbentuknya suatu negara, faktor-faktor, prinsip-prinsip suatu negara sampai perjalanan negara di masa yang akan datang. Sosiologi mempertumbuhkan semua lingkungan dan kebiasaan manusia, sepanjang kenyataan yang ada dalam kehidupan manusia dan dapat memengaruhi pengalaman yang dirasakan manusia, serta proses dalam kelompoknya. Selama kelompok itu ada, maka selama itu pula akan terlihat bentuk-bentuk, cara-cara, standar, mekanisme, masalah, dan perkembangan sifat kelompok tersebut. Semua faktor tersebut dapat memengaruhi hubungan antara manusia dan berpengaruh terhadap analisis sosiologi.

6. Perkembangan sosiologi dari abad ke abad

Banyak ilmuwan-ilmuwan besar pada zaman dahulu, seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles beranggapan bahwa manusia terbentuk begitu saja. Tanpa ada yang bisa mencegah, masyarakat mengalami perkembangan dan kemunduran. Pendapat itu kemudian ditegaskan lagi oleh para pemikir di abad pertengahan, seperti Agustinus, Ibnu Sina, dan Thomas Aquinas. Mereka berpendapat bahwa sebagai makhluk hidup yang fana, manusia tidak bisa mengetahui, apalagi menentukan apa yang akan terjadi dengan masyarakatnya. Pertanyaan dan pertanggungjawaban ilmiah tentang perubahan masyarakat belum terpikirkan pada masa ini.

Berkembangnya ilmu pengetahuan di abad pencerahan (sekitar abad ke-17 M), turut berpengaruh terhadap pandangan mengenai perubahan masyarakat, ciri-ciri ilmiah mulai tampak di abad ini. Para ahli di zaman itu berpendapat bahwa pandangan mengenai perubahan masyarakat harus berpedoman pada akal budi manusia.
Pengaruh perubahan yang terjadi di abad pencerahan. Perubahan-perubahan besar di abad pencerahan, terus berkembang secara revolusioner sapanjang abad ke-18 M. Dengan cepat struktur masyarakat lama berganti dengan struktur yang lebih baru. Hal ini terlihat dengan jelas terutama dalam revolusi Amerika, revolusi industri, dan revolusi Perancis. Gejolak-gejolak yang diakibatkan oleh ketiga revolusi ini terasa pengaruhnya di seluruh dunia. Para ilmuwan tergugah, mereka mulai menyadari pentingnya menganalisis perubahan dalam masyarakat.

a. Gejolak abad revolusi

Perubahan yang terjadi akibat revolusi benar-benar mencengangkan. Struktur masyarakat yang sudah berlaku ratusan tahun rusak. Bangasawan dan kaum Rohaniwan yang semula bergemilang harta dan kekuasaan, disetarakan haknya dengan rakyat jelata. Raja yang semula berkuasa penuh, kini harus memimpin berdasarkan undang-undang yang di tetapkan. Banyak kerajaan-kerajaan besar di Eropa yang jatuh dan terpecah. Revolusi Perancis berhasil mengubah struktur masyarakat feodal ke masyarakat yang bebas.

Gejolak abad revolusi itu mulai menggugah para ilmuwan pada pemikiran bahwa perubahan masyarakat harus dapat dianalisis. Mereka telah menyakikan betapa perubahan masyarakat yang besar telah membawa banyak korban berupa perang, kemiskinan, pemberontakan dan kerusuhan. Bencana itu dapat dicegah sekiranya perubahan masyarakat sudah diantisipasi secara dini. Perubahan drastis yang terjadi semasa abad revolusi menguatkan pandangan betapa perlunya penjelasan rasional terhadap perubahan besar dalam masyarakat. Artinya :
• Perubahan masyarakat bukan merupakan nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan dapat diketahui penyebab dan akibatnya.

• Harus dicari metode ilmiah yang jelas agar dapat menjadi alat bantu untuk menjelaskan perubahan dalam masyarakat dengan bukti-bukti yang kuat serta masuk akal.

• Dengan metode ilmiah yang tepat (penelitian berulang kali, penjelasan yang teliti, dan perumusan teori berdasarkan pembuktian), perubahan masyarakat sudah dapat diantisipasi sebelumnya sehingga krisis sosial yang parah dapat dicegah.

8. Kelahiran sosiologi modern

Sosiologi modern tumbuh pesat di benua Amerika, tepatnya di Amerika Serikat dan Kanada. Mengapa bukan di Eropa? (yang notabene merupakan tempat dimana sosiologi muncul pertama kalinya).

Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, perubahan besar masyarakat pun tak terelakkan. Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.

Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi.

DILEMA IDENTITAS NASIONAL

Setiap bangsa pastilah memiliki latar belakang sejarah, bahasa, world view (pandangan dunia), dan keanekaragaman ciri khas yang membedakannya dari bangsa lain. Ciri-ciri tersebut selanjutnya menjadi perlambang bagi kekhususan identitas suatu bangsa. Di dunia ini, secara hakiki tak ada bangsa yang memiliki ciri dasar kebudayaan lebih istimewa dari bangsa lainnya (tanpa mengabaikan faktor sejarah, tentang usia peradaban sebuah bangsa). Ke-istimewaan dan ketidak-istimewaan suatu bangsa atas bangsa lainnya cenderung ditentukan oleh prestasi budaya masyarakat bangsa dimaksud, sebuah prestasi budaya yang melahirkan peradaban unggul bagi bangsa tersebut, karena peradaban lahir dari hasil kreasi kebudayaan. Beberapa pemikir sosial bersepakat bahwa; jika kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian tentang nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, maka peradaban merupakan manifestasi kemajuan kebudayaan yang dominan bersifat teknologis, yang terefleksi dalam berbagai pranata kehidupan suatu masyarakat.

Jadi, sementara masyarakat pada sebuah bangsa masih belajar mengeja huruf (karena sebelumnya buta huruf), masyarakat pada bangsa yang lain sudah belajar membuat bayi tabung (kloning). Sementara masyarakat pada sebuah bangsa masih belajar bagaimana cara membuka pintu mobil, masyarakat pada bangsa yang lain sudah mulai belajar bagaimana cara menyeberang ke salah-satu Bumi lain yang paling dekat dengan Bumi kita (100 trilyun Bumi di jagad raya), dengan harus menaklukkan jarak 38 Trilyun KM (4 tahun cahaya), karena jika di tempuh dengan pesawat Garuda butuh waktu 5,5 juta tahun. Ya, Sebuah analogi guna menguak adanya perbedaan kualitas peradaban yang signifikan diantara bangsa-bangsa.

Peradaban unggul sebuah bangsa lahir dari masyarakat bangsa berwatak creator (pencipta), sedangkan masyarakat bangsa yang tidak berwatak creator (follower) hanya menjadi masyarakat nomaden modern yang konsumtif, hanya tahu berpindah-pindah dari satu gaya hidup, ke gaya hidup yang lainnya, tak pernah menciptakan apa-apa, tapi merasa diri sebagai orang (masyarakat) yang berperadaban, hanya karena sudah mengkonsumsi produk hasil kreasi bangsa-bangsa yang punya kualitas peradaban lebih tinggi.

Memang benar, paradigma hidup bagi masyarakat manapun cenderung akan bergerak dan berubah pada setiap fase sejarah. Perubahan tersebut mengarah pada upaya adaptasi dan asimilasi atas berbagai detil perubahan yang terjadi pada konteks lingkungan sosial, regional bahkan global. Saat ini, setiap masyarakat pada berbagai bangsa dituntun oleh satu kekuatan besar yang mendunia untuk merubah paradigma dan prinsip budayanya ke satu titik yang sama, agar identik. Jangkauan akses informasi dan komunikasi pada ketika ini, memudahkan setiap masyarakat bangsa untuk saling belajar dan mempelajari. Tanpa sadar proses ini selanjutnya mengarah pada upaya penyeragaman paradigma budaya secara global. Implikasi dari upaya penyeragaman inilah yang menjadi kepentingan bangsa-bangsa yang berkepentingan. Budaya yang pada akhirnya menjadi seragam dari berbagai rupa masyarakat bangsa, sangat mungkin secara implementatif akan berimplikasi pada seragamnya setting interaksi, seragamnya pola pikir, seragamnya pandangan hidup, seragamnya gaya hidup, dan seragamnya kebutuhan atas sarana-sarana sosial. Slow but sure, kesemuanya lalu digiring masuk kedalam perangkap dependensi, ketergantungan masyarakat bangsa-bangsa tertentu untuk harus mengkonsumsi berbagai rupa barang dan jasa yang hanya disediakan oleh bangsa-bangsa tertentu pula, yang dominan bertujuan demi profit dan dominasi atas pasar global.

Pola di atas lebih tepatnya kita sebut sebagai mekanisme “pangsa pasar” yang bersifat negatif, karena lebih cenderung pada upaya menskenario pasar global sehingga apa yang di produk bisa menjadi primadona di dalam interaksi pasar global. Jadi, kita tidak lagi dihadapkan pada mekanisme pasar sederhana sebagaimana yang kita pahami, ketika sebuah barang dan jasa di produk sesuai selera, kebutuhan, dan trend yang tengah menggejala di pasar (pangsa pasar). kesimpulannya, adalah bahwa sebuah budaya baru diciptakan sebagai sarana (alat) untuk mendorong peningkatan konsumsi masyarakat atas barang dan jasa tertentu. jadi budaya diciptakan dan di sosialisasi, selanjutnya terjadi perubahan pada trend, selera dan kebutuhan, akhirnya barang dan jasa hasil skenario-pun di konsumsi.

Ketersediaan sarana informasi dan komunikasi yang tanpa batas ketika ini menjadi salah satu spirit menjadi makin cepatnya perubahan budaya dan orientasi bagi setiap masyarakat bangsa dapat terjadi. Kita hanya patut risau dengan benturan antar- peradaban, dan tak perlu risau dengan benturan antar budaya. karena sesungguhnya Tidak akan terjadi benturan antar budaya jika pertarungan budaya pada pentas global adalah pertarungan antara budaya “Si Pitung” dan budaya “James Bond”. Si Pitung remuk redam asanya, wujudnya ibarat aib bagi dirinya, menjadi malu dan terpinggirkan karena dia hanya seorang pesilat kampung anak petani miskin papa yang hampir buta huruf, punya rumah berdinding anyaman bambu beratap jerami. mustahil melawan Si Agen 007, sang pria jantan perkasa idaman tiap wanita, agen intelijen jagoan yang bisa mengakses dan menggunakan senjata-senjata ampuh berteknologi tinggi, yang dengan cepatnya bisa melumpuhkan musuh.

Sederhananya, bangsa yang lebih unggul peradabannya (kualitas ekonomi, teknologi, politik, militer) akan menghegemoni dan mendominasi budaya bangsa-bangsa yang lebih rendah peradabannya. Bukan saja disebabkan oleh kekuatan paksaan lewat diplomasi tak sehat, invasi militer atau embargo ekonomi, tapi lebih disebabkan karena daya tarik yang dimiliki oleh bangsa adidaya tersebut lewat propaganda tanpa henti dengan menggunakan berbagai saluran, yang mencitrakan mereka sebagai pemimpin peradaban global sekaligus sebagai Creator budaya baru, sebuah budaya masa depan. Modus ini menjadikan hampir setiap masyarakat bangsa menjadi begitu legowo dalam menerima sesuatu yang baru, tentunya hal baru yang harus memiliki citra dan nilai gengsi maha tinggi di tiap relung panca indera manusia pemuja elitisme dan modernisme.

Di sisi lain, Indonesia tidak hanya memiliki beragam budaya karena beragamnya suku, tapi juga memiliki beragamnya bahasa dan ciri-ciri karakter fisik dan psikis animalik yang kadang tak sehat. Jujur saja, identitas nasional kita (baca: simbol nasional) dalam beberapa hal, bukan merupakan sebuah sintesa kebudayaan, bukan juga merupakan sebuah akulturasi kebudayaan dari beragam budaya suku bangsa yang ada di nusantara. Beberapa instrumen simbol yang dilegitimasi sebagai lambang identitas nasional kita saat ini pada prinsipnya tidak mewakili keseluruhan simbol-simbol dari berbagai elemen bangsa yang direkat dari berbagai macam wilayah dan kedaerahan ini, yang juga secara historis memiliki beragam latar belakang budaya beserta perlambang identitas yang sepenuhnya saling berbeda. Hegemoni kultur Jawa warisan Majapahit dan Sumatera warisan Sriwijaya begitu mengemuka, tampil sebagai representasi Indonesia. tapi tentunya tidak perlulah ada kongres nasional antara pemuka-pemuka suku bangsa di Nusantara untuk membangun sebuah konsensus nasional guna menentukan mana yang harus dilegitimasi sebagai simbol identitas nasional. Hal terbaik yang sewajarnya dilakukan adalah hanya dengan mematuhi kenyataan, karena bisa berbuah kenyamanan bagi siapa saja yang bernawaitu untuk mempersoalkannya.
ada beberapa kasus yang patut dijadikan sebagai contoh yang baik. Hingga detik ini bangsa-bangsa Arab masih mampu bertahan dengan kekhasannya, Cina masih mampu mempertahankan apa yang menjadi miliknya, Jepang masih mencintai “bushido” dan pernak-pernik budayanya, India masih menghargai warisan leluhurnya, serta Malaysia masih bertahan dengan idiom-idiom melayunya (meskipun beberapa bulan terakhir sang negeri serumpun membuat kita untuk hampir kehilangan akal sehat). Mereka adalah Bangsa-bangsa yang pada ketika ini membawa mata dunia untuk berpaling kearah mereka, karena saking cepatnya berbenah diri untuk ikut maju memimpin peradaban global tanpa harus kehilangan citra diri dan identitas nasional sebagai sebuah bangsa.

Dan Indonesia hanya mampu mencitrakan diri sebagai bangsa yang terbuka, sambil membiarkan budaya warisan leluhurnya digilas oleh Zaman yang tidak menghargai masa lalu. Watak santun ketimuran berganti karakter bar-bar ala raja hutan, kebaya berganti jas mini yang makin minimalis, sambal terasi berganti ayam goreng kentucky setengah halal, solidaritas sosial yang lazimnya terimplementasi dalam gotong-royong berganti hubungan interdependency yang segala sesuatunya dinilai dengan uang, kejujuran dan sikap legowo berganti ketamakan yang lupa diri, kekerabatan berganti individualisme warisan abad aufklarung, hampir tidak ada yang tersisa. Tapi tak perlu melaknati hegemoni budaya bangsa lain atas bangsa kita, karena juga masih banyak hal yang patut untuk kita pelajari dari mereka, isi kepala orang yahudi yang maha cerdas. Minimal kita mampu memfilterisasi antara mana yang bermanfaat dan mana yang berakibat mudarat.

Yang jelas ekspansi globalisasi yang turut membawa varian budaya bangsa dominan begitu terasa, sekat antar negara-bangsa menjadi luluh, kita sudah hampir merasa seperti hidup didalam negara Bumi, Mungkin ini adalah bagian dari cita-cita sejarah. Melawan kehendak sejarah sama artinya dengan melawan kehendak alam, karena alam adalah merupakan media tempat sejarah dilahirkan, dan alam itu sendiri adalah sebuah sejarah. Natura non nisi parendo vincitur, alam hanya dapat ditaklukan dengan cara mematuhinya. Juga sejarah hanya bisa ditaklukan dengan cara mematuhi sejarah. Selamat tinggal leluhur Terhormat yang “udik”, selamat datang ke-“gilaan” masa depan.***.