Pendidikan adalah sektor sentral dalam usaha pembentukan sumber daya manusia, yakni, manusia-manusia yang cerdas, terampil dan mampu menjawab tantangan zaman. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bagsa, dan negara (Wina Sanjaya, 2006: 2).
Siswa sebagai anak didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar. Sebab siswa atau anak didiklah yang menjadi pokok persoalan dan sebagai tumpuan perhatian di dalam proses belajar mengajar. Siswa sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan tertentu yang kemudian harus dikembangkan dan terus didorong agar dapat tercapai secara optimal.
Siswa akan menjadi faktor “penentu”, sehigga dapat memengaruhi segala sesuatu yang di perlukan untuk mencapai tujuan belajarnya. Jadi dalam proses belajar- mengajar yang diperhatikan pertama kali adalah tujuan, bagaimana keadaan dan kemampuannya, baru setelah itu ada penentuan atas komoponen-komponen yang lain. Apa bahan yang di perlukan, bagaimana cara yang tepat untuk bertindak, alat dan fasilitas apa yang cocok dan mendukung, semua itu harus di sesuaikan dengan keadaan/karakteristik siswa. Itulah sebabnya siswa atau anak didik adalah merupakan subjek belajar.
Dalam persoalan pembelajaran, kita masih cenderung diperhadapkan dengan model konvensional. yang dalam aplikasinya, metode yang di gunakan oleh guru cukup bervariasi, antara lain metode ceramah, diskusi maupun praktikum. Namun, dalam pembelajaran guru cenderung menggunakan metode ceramah. Siswa kurang di arahkan dan dibawa untuk mengamati, berinteraksi dengan obyek dan lingkungan dunia nyata siswa. Salah satu upaya yang dapat di lakukan untuk mengatasi bebrapa masalah tersebut adalah dengan melakukan proses belajar mengajar yang berpusat pada siswa, yaitu dengan meningkatkan peran aktif siswa dalam proses belajar mengajar. Penilaian hasil belajar siswa di peroleh dengan test tertulis yang di laksanakan di akhir tiap siklus. Penilaian hasil belajar bertujuan untuk mengetahui pemahaman atau pengetahuan siswa terhadap materi pembelajaran.
Salah satu pendekatan yang sesuai untuk meningkatkan peran aktif siswa adalah pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual akan mengajak siswa untuk mengaitkan materi yang di pelajari dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan kontekstual akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan serangkaian proses pembelajaran, sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar dan dapat membangun pemahamanya sendiri terhadap materi pembelajaran. Pembelajaran akan lebih menyenangkan dengan menggunakan pendekatan kontekstual, karena dalam pembelajaran kontekstual siswa dituntut aktif untuk memperoleh pengalaman belajarnya sendiri.
Dalam pembelajaran kontekstual, siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Anak bukanlah orang dewasa yang dalam bentuk “kecil’, melainkan organisme yang sedang berada dalam tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan demikian, peran guru, bukanlah sebagai istruktur atau “penguasa” yang memaksakan kehendak, melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
Salah satu asas dalam model pembelajaran kontekstual adalah Inkuiri, yang berarti bahwa proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian, dalam proses perencanaan, guru bukan mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi diharuskan merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Karena belajar pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis, melainkan terjadi secara dialektis. Maka melalui proses mental semacam inilah yang diharapkan agar siswa dapat berkembang secara utuh, baik intelektual, mental emosional, maupun pribadinya.
Penerapan asas ini dalam proses pembelajaran Kontekstual, dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang jelas yang hendak dipecahkan. Dengan demikian, siswa harus didorong untuk menemukan masalah. Apabila masalah telah dipahami dengan batasan-batasan yang jelas, selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis atau jawaban sementara sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan.hipotesis itulah yang kemudian menuntun siswa untuk melakukan observasi dalam rangka mengumpulkan data (Wina Sanjaya, 2008: 119). Melalui proses berpikir yang sistematis semacam ini, diharapkan siswa dapat memiliki sikap ilmiah, rasional, logis, yang kesemuanya itu diperlukan sebagai dasar pembentukan kreatifitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar