Marxisme
Marxisme tidak saja sebagai kerangka pemikiran yang hanya mencakup karya Marx dan Engels, tapi juga karya-karya kaum Marxist (pemikir besar Marxisme pasca Marx dan Engels), semisal; Lenin, Karl Kautsky, Karl Korsch, Rosa Luxemburg, Leon Trotsky, Antonio Gramsci, Tan Malaka, kelompok Mazhab Frankurt, dll. yakni mereka yang telah ikut memberi kontribusi ide dan gagasan dalam melengkapi seluruh bangunan teoritik Marx.
Relasi Produksi
Relasi produksi, atau sebagai hubungan-hubungan produksi, merupakan akumulasi dari proses atas keberadaan pemilik modal, bahan baku, alat-alat produksi, buruh dan komoditas hasil produksi. relasi produksi dapat dibatasi pada kesimpulan, sebagai proses produksi yang melibatkan bahan baku, alat-alat produksi, buruh (tenaga kerja), untuk menghasilkan komoditas baru yang tidak sekedar diorientasikan sebagai komoditas atau barang ber-nilai pakai, tapi lebih sebagai komoditas atau barang ber-nilai tukar agar bisa dipertukarkan untuk kepentingan akumulasi modal yang cenderung di peroleh pada nilai lebih yang dimiliki oleh setiap komoditas atau barang yang dihasilkan dari kerja buruh (diramu dari berbagai sumber).
Pemilik Modal
kata pemilik modal dalam literatur marxisme cenderung digunakan secara bergantian dengan kata kapitalis, ini menandakan bahwa kedua penamaan ini memiliki arti yang kurang lebih sama. sebagaimana di definisikan oleh Marx, “sebagai pemilik alat-alat produksi sosial dan pemakai kerja-kerja upahan” (Karl Marx, dalam Erich Fromm, 2010:162).
Pemilik modal dalam penjelasan Marxisme lebih sebagai aktor yang memiliki peran sebagai agen penindas. Pemilik modal atau Kapitalis mengacu pada orang atau sekumpulan orang yang memiliki hak dan kewenangan dalam mengendalikan relasi-relasi atau proses produksi. Sekaligus sebagai pemilik yang sesungguhnya atas seluruh aspek dalam relasi-relasi produksi (modal, bahan baku, alat-alat, pekerja/buruh, hasil produksi, profit) yang dikendalikannya (diramu dari berbagai sumber).
Buruh
Buruh, pekerja, penjual tenaga kerja, kelompok yang teralienasi, merupakan beberapa kata yang memiliki makna (secara terminologis) yang sama dalam penjelasan-penjelasan Marx, Engels, dan Kaum Marxist. Sedangkan kata lain dengan makna yang hampir sama adalah kata Proletariat. Dari pengamatan mendalam, penulis menyimpulkan, bahwa kata “Proletariat” lebih mengacu pada “buruh” yang telah mengalami kesadaran kelas, yakni sebagai kelas yang tertindas, terhisap.
Dari penelaahan atas makna buruh dalam penjelasan Marxisme, maka penulis berkesimpulan bahwa, buruh adalah makhluk manusia yang menjual diri (tenaga kerjanya) kepada pembeli (pemilik modal) lewat sebuah transaksi bebas (sebagaimana layaknya pertukaran yang umum berlangsung di pasar-pasar), untuk bekerja dan mengabdikan tenaga serta kemampuannya demi kepentingan kapitalis (pemilik modal), untuk memproduksi komoditas tertentu. Tanpa peduli sejauh mana implikasi kontrak kerja dan pengabdiannya tersebut bagi dirinya sendiri (diramu dari berbagai sumber).
Alienasi
pemaknaan alienasi dalam term marxisme memiliki dua penjabaran makna, yakni; alienasi yang lahir dari penghayatan dalam esensi keber-agama-an, serta alienasi yang disebabkan oleh hubungan-hubungan produksi.
Dari beberapa penjelasan yang penulis temukan, maka alienasi dapat didefinisikan sebagai, tercerabutnya manusia dari akar eksistensinya, manusia hidup tidak lagi sebagai dirinya sendiri, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, sehingga aspek-aspek ini menghilangkan esensi kemanusiaannya. Manusia menemukan dirinya dalam keterlemparan yang tanpa harapan. (diramu dari berbagai sumber).
Eksploitasi
Penindasan, eksploitasi, bahkan penghisapan, dalam term marxisme merupakan tiga kata yang cenderung digunakan secara bergantian untuk mendeskripsikan makna dari kesewenang-wenangan pemilik modal terhadap pekerja/ buruh. Sehingga, menjadi mungkin jika penulis juga memberikan pemaknaan yang sama atas ketiga kata di atas.
Penulis menyimpulkan makna eksploitasi sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang yang didasarkan pada kekuatan dan kekuasaan untuk memaksakan kehendak dan kepentingannya kepada orang lain, melalui cara-cara tertentu (diramu dari berbagai sumber).
Nilai Lebih
Nilai lebih dalam penjelasan Marxisme mengacu pada profit, laba, keuntungan yang diperoleh kapitalis. entah kapitalis pemilik industri, atau kapitalis yang berupa saudagar yang memperdagangkan barang-barang (komoditas) hasil produksi buruh, yang tetap mengacu pada satu prinsip asal perolehan nilai lebih, yakni “nilai kerja” buruh yang tidak terbayar, yang dikonversi menjadi uang lewat proses tertentu. (diramu dari berbagai sumber).
Kelas Sosial
Kelas sosial/lapisan sosial dan stratifikasi sosial cenderung mengalami pengkaburan makna, istilah-istilah ini sering dipergunakan secara bergantian, sebagai dua kata yang memiliki makna yang sama. Stratifikasi sosial adalah pengkelasan, penggolongan, pembagian masyarakat secara vertikal atau dari atas ke bawah. stratifikasi sosial memiliki makna yang lebih umum dari kelas sosial. Maka, kelas sosial merupakan salah satu bentuk atau bagian dari stratifikasi sosial.
Selanjutnya, “Pengertian kelas adalah paralel dengan pengertian lapisan tanpa membedakan apakah dasar lapisan itu uang, tanah, kekuasaan, atau dasar lainnya yang menciptakan adanya hierarki (perjenjangan) antara keompok masyarakat yang satu sebagai yang mendominasi dan kelompok masyarakat yang satunya sebagai yang tersubordinasi (dari berbagai sumber).
Jumat, 03 Juni 2011
Kamis, 02 Juni 2011
TENTANG SKRIPSI SAYA DAN METODE HERMENEUTIKA
Saat ini, adalah masa-masa tersulit bagi saya, diberondong dengan berbagai pekerjaan yang luar bisa banyak. Rumitnya, pekerjaan itu tidak mesti diselesaikan dengan otot, tapi mesti diselesaikan dengan otak. Sehingga butuh energi ekstra, stamina ekstra, konsentrasi ekstra, dan semangat yang ekstra. Yang paling berat adalah pekerjaan untuk menyelesaikan skripsi saya. Skripsi denga judul “Kelas Sosial Dalam Tinjauan Karl Marx”. Demi ambisi ini, Das Kapital saya pesan, lewat bantuan seorang wanita terbijak, terbaik, teristimewa, buku ini berhasil saya peroleh. Tiga jilid yang mendebarkan jantung. Dengan total 2500 halaman, harus dilalap, tidak boleh setengah-setengah. selain Das Kapital Jilid I-III, saya juga mulai mencari dan mengumpulkan sejumlah Karya-karya Marx yang lain, semisal “Keluarga Suci (Marx & Engels)”, “Kemiskinan Filsafat”, “Upah, Harga dan Laba”, “Manifesto Partai Komunis”, “Tesis Tentang Feuerbach”, “Tentang Proudhon”, “Brumaire XVIII Louis Bonaparte”, “Penghapusan Hak Milik Tanah”, “Ideologi Jerman”, “Tentang Perdagangan Bebas”, dan beberapa karya Friedrich Engels. Ada juga puluhan karya pemikir Besar Marxisme semisal; Tan Malaka, Lenin, Trotsky, Gramschi, Rosa Luxemburg, Mao Tse Tung, Karl Korsch, Karl Kautsky, George Lukacs, dll. Sebuah pekerjaan yang maha berat bagi seorang calon sarjana S1, tapi apa boleh buat, pilihan sudah ditetapkan, pantang kaki melangkah mundur.
Semula, saya merencanakan penyusunan skripsi ini dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yakni mendeskripsikan sejumlah hasil olah pustaka dari pertanyaan penelitian, dan menganalisisnya dengan terapi interpretative understanding”. Tapi setelah melalui beberapa diskusi dengan teman-teman, dan atas saran kritis dari salah seorang Dosen kritis yang cukup mahir dalam hal metodologi, beliau akhirnya memberi sebuah kesimpulan Praktis yang teramat berat bagi saya. Katanya, “Din, skripsi kamu ini rumit, sekaligus menantang, nilai skripsi kamu tidak terletak pada temanya yang bombastis, tapi pada keberanian kamu untuk mengkaji dan menelusuri bangunan pemikiran Marx, sehingga metodenya juga tidak cukup jika hanya berkutat pada deskripsi dan analisis sederhana, kamu harus berani menggunakan metode yang tidak lazim karena yang kamu teliti juga adalah bangunan pemikiran yang tidak lazim diteliti oleh seorang calon sarjana S1. Ada metode yang cukup bagus untuk penelitian kamu, saya sendiri masih kurang mengerti dengan metode ini, yaitu metode Hermeneutika”.
Alhasil, literatur tentang hermeneutika pun mulai saya cari, dan ketemu. Truth and Method karya Gadamer pun terpaksa saya beli, juga satu buku lain yang mengulas tentang hermeneutika, sebagai pemandu. Dan inilah sedikit ulasan saya tentang apa dan bagaimana itu Hermeneutika.
Subtilitas Intelligendi (Ketepatan Pemahaman) dan Subtilitas Explicandi (Ketepatan Penjabaran) adalah kunci dari Hermeneutika,
Hermeneutic berasal dari bahasa Yunani Hermeneuein yang berarti Menafsirkan, maka kata sifat Hermeneia dapat diartikan sebagai Penafsiran. Kata ini juga berkaitan erat dengan nama Hermes seorang tokoh mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan pesan Dewa dari gunung Olympus kepada manusia.
Dalam setiap kalimat yang di ucapkan, terdapat dua momen pemahaman, yaitu apa yang diatakan dalam konteks bahasa, dan apa yang dipikirkan oleh pembicara. Setiap pembicara mempunyai waktu dan tempat dan bahasa dimodifikasikan menurut kedua hal tersebut. Pemahaman hanya terdapat di dalam kedua momen yang saling berpautan satu sama lain itu. Baik bahasa, ataupun pembicaranya harus dipahami sebagaimana seharusnya.
Schleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi, yaitu rekonstruksi Objektif-historis dan rekonstruksi Subjektif-historis. Yang pertama bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai keseluruhan, sedangkan yang kedua bermaksud membahas awal mulanya sebuah pernyataan masuk kedalam pikiran seseorang. Schleiermacher menyatakan lebih lanjut bahwa tugas hermeneutic adalah memahami teks “sebaik atau lebih baik dari pengarangnya sendiri” dan “memahami pengarang teks lebih baik dari memahami diri sendiri”
Pemahaman terhadap individu menolak metode-metode penjelasan yang metodis dan ilmiah, karena individu pada dasarnya bersifat tak terselidiki (Individuum est ineffabile ). Bila seseorang merekonstruksi suatu peristiwa, berarti ia mencoba ‘menghidupkannya kembali’. Sebagai “penemuan atas diri saya didalam diri anda”, ini berarti pula bahwa seseorang membaca dirinya sendiri dalam objek penelitiannya. “kita menerangkan berarti kita membuat proses intelektual murni, tetapi kita memahami berarti kita menggabungkan semua daya pikiran kita dalam pengertian. Dan, dalam memahami, kita mengikuti proses mulai dari system keseluruhan yang kita terima didalam pengalaman hidup sehingga dapat kita mengerti, sampai ke pemahaman terhadap diri kita sendiri”.
Proses pemahaman terdiri dari dua bagian rangkaian peristiwa dalam proses kehidupan secara berbeda satu sama lain. Pertama, pengalaman yang hidup menimbulkan ungkapannya. Bila kita menyelidiki ungkapan dengan mundur ke pengalaman, ini berarti kita melakukan hubungan akibat-sebab. Kedua, dalam proses menghidupkan kembali atau rekonstruksi berbagai peristiwa, dimana orang dapat melihat kelanjutan peristiwa tersebut sehingga ia bisa ambil bagian didalamnya, maka ia melakukan proses hubungan sebab-akibat. Bagian yang kedua ini merupakan epitomae atau ikhtisar pemahaman. Kita akan mampu memahami hanya jika kita mampu memutar balik proses kausal dari akibat-sebab ke sebab-akibat. Namun kedua bagian ini tidak terpisahkan satu dengan yang lain, sebab dalam proses pemahaman itu sendiri, akal pikiran kita mengambil alih timbul tenggelamnya sebab dan akibat dalam rangkaian penyebaban. Dalam kelangsungan waktu, baik masa lalu maupun masa mendatang transenden terhadap momen yang penuh dengan pengalaman. Ini bisa terjadi sebagai akibat dari “keterhubungan hidup” (the connectedness of life).
Dalam kebebasannya yang inheren manusia membayangkan sebuah tema didalam angan-angannya dan mengevaluasi tema tersebut menurut kebebasannya. Bila seseorang berdiri ditengah-tengah reruntuhan dan memandangnya sebagai peninggalan masa lampau, orang tersebut mengalami person-person dan segala perbuatannya seakan-akan bermunculan dalam benaknya dengan segala corak dan warnanya sendiri yang khas. Dia kemudian “mengaktifkan kembali” segala peristiwa yang ada dengan bantuan data yang berasal dari reruntuhan tersebut. Karya semacam inilah yang disebut dengan “Hermeneutik” atau interpretasi. Tujuan akhir dari hermeneutic adalah kemampuan memahami penulis atau pengarang melebihi pemahaman terhadap diri kita sendiri.
Menarik kesimpulan dari sebuah fakta teks yang mengandung unsur sejarah, mengharuskan seseorang untuk terjun dan mendalami peristiwa berbekal pengetahuan atas motif yang melatar belakangi segala peristiwa yang tersimpulkan dalam teks. Ini berarti pula bahwa pemahaman atas diri penulis sebuah karya sejarah, menduduki possisi yang sangat penting, sebab berangkat dari sinilah kesimpulan-kesimpulan kita. Di sisi lain, peluang munculnya prasangka subjektif adalah hal yang mungkin, akan tetapi upaya-upaya untuk menganalisis sebuah teks dalam perspektif yang objektif tetap kita upayakan.
Seorang peneliti juga harus mempergunakan intuisi, sebab keseimbangan antara rasio dan rasa harus dibuat mengingat bahwa yang rasional itu belum sepenuhnya benar, karena kita meneliti karya seseorang yang masih mungkin dihinggapi oleh berbagai prasangka dan kekeliruan. Seorang penafsir menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai perubahan, ia mengambil apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan.
Jadi dalam Hermeneutik, baik penafsir maupun yang diinterpretasi sama-sama punya andil yang besar dalam interpretasi yang benar. Dualitas peranan inilah yang menentang kesimpulan yang sempit dan ilmiah. Maka sudah seharusnyalah hermeneutic menjadi metode bagi ilmu-ilmu sosial.
demikianlah***
Semula, saya merencanakan penyusunan skripsi ini dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yakni mendeskripsikan sejumlah hasil olah pustaka dari pertanyaan penelitian, dan menganalisisnya dengan terapi interpretative understanding”. Tapi setelah melalui beberapa diskusi dengan teman-teman, dan atas saran kritis dari salah seorang Dosen kritis yang cukup mahir dalam hal metodologi, beliau akhirnya memberi sebuah kesimpulan Praktis yang teramat berat bagi saya. Katanya, “Din, skripsi kamu ini rumit, sekaligus menantang, nilai skripsi kamu tidak terletak pada temanya yang bombastis, tapi pada keberanian kamu untuk mengkaji dan menelusuri bangunan pemikiran Marx, sehingga metodenya juga tidak cukup jika hanya berkutat pada deskripsi dan analisis sederhana, kamu harus berani menggunakan metode yang tidak lazim karena yang kamu teliti juga adalah bangunan pemikiran yang tidak lazim diteliti oleh seorang calon sarjana S1. Ada metode yang cukup bagus untuk penelitian kamu, saya sendiri masih kurang mengerti dengan metode ini, yaitu metode Hermeneutika”.
Alhasil, literatur tentang hermeneutika pun mulai saya cari, dan ketemu. Truth and Method karya Gadamer pun terpaksa saya beli, juga satu buku lain yang mengulas tentang hermeneutika, sebagai pemandu. Dan inilah sedikit ulasan saya tentang apa dan bagaimana itu Hermeneutika.
Subtilitas Intelligendi (Ketepatan Pemahaman) dan Subtilitas Explicandi (Ketepatan Penjabaran) adalah kunci dari Hermeneutika,
Hermeneutic berasal dari bahasa Yunani Hermeneuein yang berarti Menafsirkan, maka kata sifat Hermeneia dapat diartikan sebagai Penafsiran. Kata ini juga berkaitan erat dengan nama Hermes seorang tokoh mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan pesan Dewa dari gunung Olympus kepada manusia.
Dalam setiap kalimat yang di ucapkan, terdapat dua momen pemahaman, yaitu apa yang diatakan dalam konteks bahasa, dan apa yang dipikirkan oleh pembicara. Setiap pembicara mempunyai waktu dan tempat dan bahasa dimodifikasikan menurut kedua hal tersebut. Pemahaman hanya terdapat di dalam kedua momen yang saling berpautan satu sama lain itu. Baik bahasa, ataupun pembicaranya harus dipahami sebagaimana seharusnya.
Schleiermacher menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi, yaitu rekonstruksi Objektif-historis dan rekonstruksi Subjektif-historis. Yang pertama bermaksud membahas sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai keseluruhan, sedangkan yang kedua bermaksud membahas awal mulanya sebuah pernyataan masuk kedalam pikiran seseorang. Schleiermacher menyatakan lebih lanjut bahwa tugas hermeneutic adalah memahami teks “sebaik atau lebih baik dari pengarangnya sendiri” dan “memahami pengarang teks lebih baik dari memahami diri sendiri”
Pemahaman terhadap individu menolak metode-metode penjelasan yang metodis dan ilmiah, karena individu pada dasarnya bersifat tak terselidiki (Individuum est ineffabile ). Bila seseorang merekonstruksi suatu peristiwa, berarti ia mencoba ‘menghidupkannya kembali’. Sebagai “penemuan atas diri saya didalam diri anda”, ini berarti pula bahwa seseorang membaca dirinya sendiri dalam objek penelitiannya. “kita menerangkan berarti kita membuat proses intelektual murni, tetapi kita memahami berarti kita menggabungkan semua daya pikiran kita dalam pengertian. Dan, dalam memahami, kita mengikuti proses mulai dari system keseluruhan yang kita terima didalam pengalaman hidup sehingga dapat kita mengerti, sampai ke pemahaman terhadap diri kita sendiri”.
Proses pemahaman terdiri dari dua bagian rangkaian peristiwa dalam proses kehidupan secara berbeda satu sama lain. Pertama, pengalaman yang hidup menimbulkan ungkapannya. Bila kita menyelidiki ungkapan dengan mundur ke pengalaman, ini berarti kita melakukan hubungan akibat-sebab. Kedua, dalam proses menghidupkan kembali atau rekonstruksi berbagai peristiwa, dimana orang dapat melihat kelanjutan peristiwa tersebut sehingga ia bisa ambil bagian didalamnya, maka ia melakukan proses hubungan sebab-akibat. Bagian yang kedua ini merupakan epitomae atau ikhtisar pemahaman. Kita akan mampu memahami hanya jika kita mampu memutar balik proses kausal dari akibat-sebab ke sebab-akibat. Namun kedua bagian ini tidak terpisahkan satu dengan yang lain, sebab dalam proses pemahaman itu sendiri, akal pikiran kita mengambil alih timbul tenggelamnya sebab dan akibat dalam rangkaian penyebaban. Dalam kelangsungan waktu, baik masa lalu maupun masa mendatang transenden terhadap momen yang penuh dengan pengalaman. Ini bisa terjadi sebagai akibat dari “keterhubungan hidup” (the connectedness of life).
Dalam kebebasannya yang inheren manusia membayangkan sebuah tema didalam angan-angannya dan mengevaluasi tema tersebut menurut kebebasannya. Bila seseorang berdiri ditengah-tengah reruntuhan dan memandangnya sebagai peninggalan masa lampau, orang tersebut mengalami person-person dan segala perbuatannya seakan-akan bermunculan dalam benaknya dengan segala corak dan warnanya sendiri yang khas. Dia kemudian “mengaktifkan kembali” segala peristiwa yang ada dengan bantuan data yang berasal dari reruntuhan tersebut. Karya semacam inilah yang disebut dengan “Hermeneutik” atau interpretasi. Tujuan akhir dari hermeneutic adalah kemampuan memahami penulis atau pengarang melebihi pemahaman terhadap diri kita sendiri.
Menarik kesimpulan dari sebuah fakta teks yang mengandung unsur sejarah, mengharuskan seseorang untuk terjun dan mendalami peristiwa berbekal pengetahuan atas motif yang melatar belakangi segala peristiwa yang tersimpulkan dalam teks. Ini berarti pula bahwa pemahaman atas diri penulis sebuah karya sejarah, menduduki possisi yang sangat penting, sebab berangkat dari sinilah kesimpulan-kesimpulan kita. Di sisi lain, peluang munculnya prasangka subjektif adalah hal yang mungkin, akan tetapi upaya-upaya untuk menganalisis sebuah teks dalam perspektif yang objektif tetap kita upayakan.
Seorang peneliti juga harus mempergunakan intuisi, sebab keseimbangan antara rasio dan rasa harus dibuat mengingat bahwa yang rasional itu belum sepenuhnya benar, karena kita meneliti karya seseorang yang masih mungkin dihinggapi oleh berbagai prasangka dan kekeliruan. Seorang penafsir menempatkan dirinya dalam konteks ruang dan waktu, maka visinya juga mengalami berbagai perubahan, ia mengambil apa saja yang mungkin untuk ditafsirkan.
Jadi dalam Hermeneutik, baik penafsir maupun yang diinterpretasi sama-sama punya andil yang besar dalam interpretasi yang benar. Dualitas peranan inilah yang menentang kesimpulan yang sempit dan ilmiah. Maka sudah seharusnyalah hermeneutic menjadi metode bagi ilmu-ilmu sosial.
demikianlah***
JELANG 2009
*. Pra Wacana
Momentum pergantian tahun kali ini akan memberikan kesan yang sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. ada beberapa momentum penting menanti di tahun 2009, setidaknya dua ajang demokrasi akbar di Bangsa ini, yakni pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden & wakil presiden. mungkin sebagian orang ingin cepat tiba di tahun 2009, sebagian lagi belum siap untuk menerima kenyataan bahwa sebentar lagi tahun 2009 tiba. ada sejuta keindahan yang masih harus dinikmati di tahun 2008, di satu sisi barangkali belum ada kesiapan fisik dan psikis dalam menghadapi segala kenyataan yang mungkin akan terjadi di tahun yang baru. setuju atau tidak, yang nyata bahwa waktu akan dengan cepat menghantarkan kita ke masa depan.
Lazimnya, menjelang detik-detik pergantian tahun seperti ini, keberadaan peran paranormal mulai menampakkan eksistensinya, dan prediksi-prediksi metafisis atas peristiwa-peristiwa penting yang mungkin terjadi segera memenuhi kolom-kolom media. hal-hal klenik, tidak empirik masih menjadi primadona, alias tetap menjadi sesuatu yang berharga untuk dinikmati, diminati, diyakini, sambil menyisipkan seperangkat harapan-harapan tertentu agar yang menjadi nyata, cukup yang baik-baik saja. ini berarti, dominan segala keputusan hidup masih begantung pada sesuatu yang berada diluar kendali manusia, atau tanpa intervensi, dan tanpa bersinggungan dengan sejarah nyata kehidupan. seyogianya, prediksi atas masa yang akan datang mesti di dudukkan pada porsi yang sebenarnya. masa lalu adalah kenyataan sejarah, tapi dengan masa yang sudah terlewati itu, kita bisa melakukan refleksi-refleksi kritis atas apa yang mungkin terjadi pada masa selanjutnya.
Jadi kita tidak sekedar menggantungkan realita masa depan pada hukum alam atau pada garis sejarah yang berjalan terpisah dengan kehendak manusia, tapi realita masa depan yang selanjutnya akan terjadi harus bersesuaian dengan kehendak manusia. sederhananya, manusia harus diajari untuk memahami dan sekaligus menciptakan sejarahnya sendiri, sehingga ada relaksasi antara yang terjadi dan yang seharusnya terjadi.Tahun 2009 mungkin akan menjadi tahun paling keramat pada dekade ini. angka ganjil begitu sangat berarti bagi sebagian besar manusia. kata seorang filosof Yunani, Virgil, “numera deus impare gaudet”,(dewa-dewa sangat suka dengan bilangan ganjil)”. angka Sembilan adalah hasil penjumlahan angka tiga sebanyak tiga kali. angka tiga biasanya akrab dengan manifestasi-manifestasi spiritual manusia, dalam pengabdian dan penghambaannya kepada Yang Maha Kuasa. rasanya, makna pengabdian dan penghambaan manusia kepada Sang Adi Kodrati belumlah lengkap, tanpa simpul-simpul angka tiga dalam ekspresi spritualitas manusia.
Kita juga bisa menilik bagaimana permainan angka Pythagoras dalam memahami realita spiritual manusia, dan pandangan kosmologinya atas hakikat alam semesta. pada prinsipnya, beliau juga ikut menempatkan angka ganjil pada konteks pemaknaan yang lebih khusus dan berbeda.
Angka ganjil berakhir pada keEsaan dan ketunggalan. jika fenomena Dunia menghadirkan fakta bahwa segala sesuatunya hadir berpasang-pasangan pada asas binnary opposition atau contraria (saling bertentangan), tapi mengarah pada kehendak untuk saling melengkapi (sunt complementa), maka tidak demikian untuk angka ganjil. ia masih menyisakan sesuatu yang tetap satu dan mandiri. itulah substansi ke-Esaan. Dia menjadi ada untuk dirinya sendiri, hadir dan hanya bisa dilengkapi oleh, dari, dan untuk Dirinya sendiri (secara khusus, mungkin inilah yang dimaksud oleh Immanuel Kant tentang das ding an sich-nya). terlepas dari semua bait-bait puisi kegilaan ini, yang jelas awal tahun ganjil sudah menanti.
*. Kilas Balik Sejarah
Kita bisa sama-sama sepakat bahwa pada tahun kemarin masing-masing dari kita telah membuat banyak catatan sejarah. entah itu berguna bagi kebanyakan orang ataupun tidak, minimal itu bernilai dan meninggalkan sekelumit kesan untuk diri sendiri. persetan, entah kesannya positif atau negatif yang penting kita tidak munafik pada diri sendiri, dan kita bisa mengamininya sebagai sesuatu yang sudah seharusnya terjadi dan menerimanya dengan segala kearifan dan kebijaksanaan.
Yang menjadi penting saat ini adalah, bagaimana menciptakan sesuatu yang lebih baru dan lebih relevan dengan segala dimensi kekinian kita. masa lalu tidak mungkin harus diajak untuk kembali, karena mengajak masa lalu untuk kembali dengan menghadirkannya sebagai sebuah kenangan di masa kini, sama seperti mengarahkan diri untuk tidak hadir seutuhnya dan bersama dengan segala dimensi kekinian, ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap eksistensi diri. apa mungkin manusia bisa hidup pada suatu dimensi ruang masa kini, sedangkan dimensi waktu yang dihayati dan dipahaminya saat ini adalah waktu tentang masa lalu. tapi bukan berarti bahwa kita harus menepis semua memori masa lalu.
Jika banyak hal buruk yang pernah dilakukan di hari-hari kemarin, maka kita bisa menyeimbangkannya dengan mulai melakukan hal baik hari ini. sehingga hidup tidak dijerumuskan pada penderitaan eksistensi yang berkepanjangan. perbuatan buruk tetaplah sesuatu yang dapat menyisakan luka dan trauma psikologi. hampir belum pernah ada manusia yang menjadi bersyukur dan berbahagia pasca Ia melakukan suatu perbuatan buruk. juga, kenangan akan sebuah perbuatan tetaplah menjadi sesuatu yang berarti bagi setiap manusia. selama memori masih berfungsi, kita bisa memetik buah pelajaran yang berguna dari semua perbuatan itu.
Sebaliknya jika pada masa kemarin kita telah banyak melakukan perbuatan baik, bukan berarti bahwa pada masa kini kita harus lebih banyak melakukan perbuatan buruk sebagai salah satu cara untuk menyeimbangkannya. akan tetapi sebaiknya segala realisasi perbuatan baik yang pernah ada tersebut terus di pupuk dan di pertahankan sehingga muncul kepuasan diri dalam bereksistensi guna menjemput klimaks idealnya berkehidupan.
Untuk Bangsa ini, banyak hal yang masih harus di benahi. dalam rangka untuk membenahi itu sesungguhnya sudah berlangsung dari tahun ke tahun. satu masalah krusial berhasil diselesaikan, masalah baru kembali muncul dan minta untuk diselesaikan. seolah-olah setiap masalah senantiasa bereinkarnasi ke wujud-wujud yang berbeda ataupun sama, dengan derajat yang sama peliknya. lebih jauh, Bangsa ini sepertinya belum menemukan “pulau surga” sebagai tujuan dari pelayaran panjangnya. bahtera bangsa berlayar tanpa arah. ini bisa dibuktikan dengan tidak adanya konsistensi para pemimpin bangsa dalam meletakkan satu tujuan kehidupan berkebangsaan secara pasti, pemimpin baru lahir, berarti kita akan disuguhkan kembali dengan mimpi-mimpi baru. yang pada akhirnya kita hanya bisa bermimpi, tentang kapan bangsa ini bisa “survive”.
Untuk Maluku Utara, juga masih banyak PR yang belum terselesaikan. tidak perlu dijelaskan satu persatu, karena bagi kita semua yang bisa berpikir jernih, sudah sama-sama tahu persoalan apa saja yang dimaksud. yang terpenting, untuk membangun daerah ini butuh kearifan, kejujuran, dan keseriusan. momentum politik di tahun 2009 diharapkan dapat memberi sesuatu yang lebih berarti untuk bangsa maupun Daerah ini. sehingga kita bisa kembali tersenyum dalam mimpi tentang masih adanya harapan-harapan baru yang lebih menjanjikan untuk masa depan. sambil mencoba melupakan semua cerita kelam dan kepahitan di tahun kemarin. kita bisa meletakkan fondasinya mulai hari ini, dan yang akan melakukannya adalah kita semua.
Jangan terlalu banyak berharap pada para pemimpin dan pemimpi kita, karena mereka hanya sibuk dengan narsisisme dan egoisme mereka. kadang ada teriakan ajakan agar kita bisa lebih mencintai bangsa ini, negeri ini, sebuah gerakan cinta Indonesia, padahal kita semua tahu bahwa para pemimpin kita hari ini hanya mau mencintai diri sendiri, apa yang bisa diberikan oleh rakyat pada bangsa dan negaranya jika untuk memberi Sesuatu untuk diri sendiripun rakyat sudah tidak sanggup…!, rakyat terlalu lelah bercengkrama dengan kemiskinan mereka, mana mungkin rakyat rela mengabdi untuk bangsa ini jika bangsa dan Negara tidak pernah rela untuk mengabdi pada rakyatnya…!, apa mungkin nilai hidup harmoni di bangsa ini masih bisa di pertahankan jika rasa kemanusiaan sebagian dari kita telah hilang bersama waktu yang tak pernah berhenti untuk kompromi…,***.
Momentum pergantian tahun kali ini akan memberikan kesan yang sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. ada beberapa momentum penting menanti di tahun 2009, setidaknya dua ajang demokrasi akbar di Bangsa ini, yakni pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden & wakil presiden. mungkin sebagian orang ingin cepat tiba di tahun 2009, sebagian lagi belum siap untuk menerima kenyataan bahwa sebentar lagi tahun 2009 tiba. ada sejuta keindahan yang masih harus dinikmati di tahun 2008, di satu sisi barangkali belum ada kesiapan fisik dan psikis dalam menghadapi segala kenyataan yang mungkin akan terjadi di tahun yang baru. setuju atau tidak, yang nyata bahwa waktu akan dengan cepat menghantarkan kita ke masa depan.
Lazimnya, menjelang detik-detik pergantian tahun seperti ini, keberadaan peran paranormal mulai menampakkan eksistensinya, dan prediksi-prediksi metafisis atas peristiwa-peristiwa penting yang mungkin terjadi segera memenuhi kolom-kolom media. hal-hal klenik, tidak empirik masih menjadi primadona, alias tetap menjadi sesuatu yang berharga untuk dinikmati, diminati, diyakini, sambil menyisipkan seperangkat harapan-harapan tertentu agar yang menjadi nyata, cukup yang baik-baik saja. ini berarti, dominan segala keputusan hidup masih begantung pada sesuatu yang berada diluar kendali manusia, atau tanpa intervensi, dan tanpa bersinggungan dengan sejarah nyata kehidupan. seyogianya, prediksi atas masa yang akan datang mesti di dudukkan pada porsi yang sebenarnya. masa lalu adalah kenyataan sejarah, tapi dengan masa yang sudah terlewati itu, kita bisa melakukan refleksi-refleksi kritis atas apa yang mungkin terjadi pada masa selanjutnya.
Jadi kita tidak sekedar menggantungkan realita masa depan pada hukum alam atau pada garis sejarah yang berjalan terpisah dengan kehendak manusia, tapi realita masa depan yang selanjutnya akan terjadi harus bersesuaian dengan kehendak manusia. sederhananya, manusia harus diajari untuk memahami dan sekaligus menciptakan sejarahnya sendiri, sehingga ada relaksasi antara yang terjadi dan yang seharusnya terjadi.Tahun 2009 mungkin akan menjadi tahun paling keramat pada dekade ini. angka ganjil begitu sangat berarti bagi sebagian besar manusia. kata seorang filosof Yunani, Virgil, “numera deus impare gaudet”,(dewa-dewa sangat suka dengan bilangan ganjil)”. angka Sembilan adalah hasil penjumlahan angka tiga sebanyak tiga kali. angka tiga biasanya akrab dengan manifestasi-manifestasi spiritual manusia, dalam pengabdian dan penghambaannya kepada Yang Maha Kuasa. rasanya, makna pengabdian dan penghambaan manusia kepada Sang Adi Kodrati belumlah lengkap, tanpa simpul-simpul angka tiga dalam ekspresi spritualitas manusia.
Kita juga bisa menilik bagaimana permainan angka Pythagoras dalam memahami realita spiritual manusia, dan pandangan kosmologinya atas hakikat alam semesta. pada prinsipnya, beliau juga ikut menempatkan angka ganjil pada konteks pemaknaan yang lebih khusus dan berbeda.
Angka ganjil berakhir pada keEsaan dan ketunggalan. jika fenomena Dunia menghadirkan fakta bahwa segala sesuatunya hadir berpasang-pasangan pada asas binnary opposition atau contraria (saling bertentangan), tapi mengarah pada kehendak untuk saling melengkapi (sunt complementa), maka tidak demikian untuk angka ganjil. ia masih menyisakan sesuatu yang tetap satu dan mandiri. itulah substansi ke-Esaan. Dia menjadi ada untuk dirinya sendiri, hadir dan hanya bisa dilengkapi oleh, dari, dan untuk Dirinya sendiri (secara khusus, mungkin inilah yang dimaksud oleh Immanuel Kant tentang das ding an sich-nya). terlepas dari semua bait-bait puisi kegilaan ini, yang jelas awal tahun ganjil sudah menanti.
*. Kilas Balik Sejarah
Kita bisa sama-sama sepakat bahwa pada tahun kemarin masing-masing dari kita telah membuat banyak catatan sejarah. entah itu berguna bagi kebanyakan orang ataupun tidak, minimal itu bernilai dan meninggalkan sekelumit kesan untuk diri sendiri. persetan, entah kesannya positif atau negatif yang penting kita tidak munafik pada diri sendiri, dan kita bisa mengamininya sebagai sesuatu yang sudah seharusnya terjadi dan menerimanya dengan segala kearifan dan kebijaksanaan.
Yang menjadi penting saat ini adalah, bagaimana menciptakan sesuatu yang lebih baru dan lebih relevan dengan segala dimensi kekinian kita. masa lalu tidak mungkin harus diajak untuk kembali, karena mengajak masa lalu untuk kembali dengan menghadirkannya sebagai sebuah kenangan di masa kini, sama seperti mengarahkan diri untuk tidak hadir seutuhnya dan bersama dengan segala dimensi kekinian, ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap eksistensi diri. apa mungkin manusia bisa hidup pada suatu dimensi ruang masa kini, sedangkan dimensi waktu yang dihayati dan dipahaminya saat ini adalah waktu tentang masa lalu. tapi bukan berarti bahwa kita harus menepis semua memori masa lalu.
Jika banyak hal buruk yang pernah dilakukan di hari-hari kemarin, maka kita bisa menyeimbangkannya dengan mulai melakukan hal baik hari ini. sehingga hidup tidak dijerumuskan pada penderitaan eksistensi yang berkepanjangan. perbuatan buruk tetaplah sesuatu yang dapat menyisakan luka dan trauma psikologi. hampir belum pernah ada manusia yang menjadi bersyukur dan berbahagia pasca Ia melakukan suatu perbuatan buruk. juga, kenangan akan sebuah perbuatan tetaplah menjadi sesuatu yang berarti bagi setiap manusia. selama memori masih berfungsi, kita bisa memetik buah pelajaran yang berguna dari semua perbuatan itu.
Sebaliknya jika pada masa kemarin kita telah banyak melakukan perbuatan baik, bukan berarti bahwa pada masa kini kita harus lebih banyak melakukan perbuatan buruk sebagai salah satu cara untuk menyeimbangkannya. akan tetapi sebaiknya segala realisasi perbuatan baik yang pernah ada tersebut terus di pupuk dan di pertahankan sehingga muncul kepuasan diri dalam bereksistensi guna menjemput klimaks idealnya berkehidupan.
Untuk Bangsa ini, banyak hal yang masih harus di benahi. dalam rangka untuk membenahi itu sesungguhnya sudah berlangsung dari tahun ke tahun. satu masalah krusial berhasil diselesaikan, masalah baru kembali muncul dan minta untuk diselesaikan. seolah-olah setiap masalah senantiasa bereinkarnasi ke wujud-wujud yang berbeda ataupun sama, dengan derajat yang sama peliknya. lebih jauh, Bangsa ini sepertinya belum menemukan “pulau surga” sebagai tujuan dari pelayaran panjangnya. bahtera bangsa berlayar tanpa arah. ini bisa dibuktikan dengan tidak adanya konsistensi para pemimpin bangsa dalam meletakkan satu tujuan kehidupan berkebangsaan secara pasti, pemimpin baru lahir, berarti kita akan disuguhkan kembali dengan mimpi-mimpi baru. yang pada akhirnya kita hanya bisa bermimpi, tentang kapan bangsa ini bisa “survive”.
Untuk Maluku Utara, juga masih banyak PR yang belum terselesaikan. tidak perlu dijelaskan satu persatu, karena bagi kita semua yang bisa berpikir jernih, sudah sama-sama tahu persoalan apa saja yang dimaksud. yang terpenting, untuk membangun daerah ini butuh kearifan, kejujuran, dan keseriusan. momentum politik di tahun 2009 diharapkan dapat memberi sesuatu yang lebih berarti untuk bangsa maupun Daerah ini. sehingga kita bisa kembali tersenyum dalam mimpi tentang masih adanya harapan-harapan baru yang lebih menjanjikan untuk masa depan. sambil mencoba melupakan semua cerita kelam dan kepahitan di tahun kemarin. kita bisa meletakkan fondasinya mulai hari ini, dan yang akan melakukannya adalah kita semua.
Jangan terlalu banyak berharap pada para pemimpin dan pemimpi kita, karena mereka hanya sibuk dengan narsisisme dan egoisme mereka. kadang ada teriakan ajakan agar kita bisa lebih mencintai bangsa ini, negeri ini, sebuah gerakan cinta Indonesia, padahal kita semua tahu bahwa para pemimpin kita hari ini hanya mau mencintai diri sendiri, apa yang bisa diberikan oleh rakyat pada bangsa dan negaranya jika untuk memberi Sesuatu untuk diri sendiripun rakyat sudah tidak sanggup…!, rakyat terlalu lelah bercengkrama dengan kemiskinan mereka, mana mungkin rakyat rela mengabdi untuk bangsa ini jika bangsa dan Negara tidak pernah rela untuk mengabdi pada rakyatnya…!, apa mungkin nilai hidup harmoni di bangsa ini masih bisa di pertahankan jika rasa kemanusiaan sebagian dari kita telah hilang bersama waktu yang tak pernah berhenti untuk kompromi…,***.
Rabu, 01 Juni 2011
ANTARA SOSIALISME DAN KAPITALISME
- Sosialisme
Sosialisme mengajari kita untuk bertenggang rasa, mengajari kita untuk merasa dalam diri orang lain, memaknai hidup kita dalam hidup orang lain. Berbuat demi komunitas, mengabdi demi komunitas, berkarya demi komunitas. Sosialisme (pada sisi tertentu) menganggap bahwa “kita semestinya hidup demi orang lain, dan sebaliknya orang lain harus hidup untuk kita”. Sosialisme begitu sangat mencintai solidaritas dan kekompakan komunitas. Kata Marx, “setiap orang bekerja sesuai kemampuannya, dan setiap orang diberi sesuai kebutuhannya”. Sebuah konsep hidup yang mengindikasi makna keluhuran yang sesungguhnya, sebuah konsep hidup yang mengisyaratkan bahwa sesungguhnya semua manusia harus berbuat adil dan setimpal kepada sesama, sebuah konsep hidup yang menghendaki adanya kesejahteraan kepada semua, jangan ada manusia yang mengeksploitasi manusia yang lain.
Semua manusia harus berada pada strata kelas yang sama, tidak ada yang berada pada kelas atas, dan tidak ada yang berada pada kelas bawah. Semuanya terspesialisasi pada beragam kelompok profesi, tapi tetap menjaga keutuhan komunitas dengan mengarahkan tujuan pada kepentingan bersama. Mungkin inilah yang dimaksud dalam istilah sosiologi sebagai diferensiasi sosial, individu-individu terfragmentasi dalam beberapa kelompok sosial yang didasarkan atas profesi masing-masing (tertentu), tapi pengelompokan ini sungguh nyata, ada tanpa aroma kelas. Artinya, tidak ada ciri hierarki atau perjenjangan, bahwa individu atau kelompok yang satu berada pada posisi yang lebih tinggi dan mendominasi kenyataan hidup individu atau kelompok masyarakat yang lain.
Saya ingin sedikit “bermulut besar” untuk menjelaskan ini, bahwa apa yang di impikan Marx, sesungguhnya telah terimplementasi dalam kultur Hindu dengan Catur Warna-nya. Antara Barahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra, yang terfragmentasi karena faktor profesi. Yakni; Brahmana (Pendeta, Pemuka Agama) sebagai kelompok manusia yang bertanggung jawab atas kehidupan spiritual komunitas, Ksatria (Raja, Bangsawan, Prajurit) yang bertanggung jawab atas kepemimpinan dan sebagai pemberi rasa aman kepada komunitas, Waisya sebagai kelompok para pedagang, petani, tukang ahli, dll, yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan pada komunitas, serta Sudra yang bertanggungjawab untuk membantu pekerjaan rumah-an ketiga kasta (maaf, penulis tetap tidak bisa menghindari istilah yang umum digunakan) yang disebutkan lebih dahulu sehingga ketiga kasta tersebut dapat melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya tanpa terganggu dengan pekerjaan rumah-an masing-masing. Sesungguhnya dari beberapa literatur yang penulis peroleh, “kasta” berbeda dari “catur warna”. Tapi penulis tidak ingin terganggu dengan penjelasan ini. Yang substansi adalah bahwa penulis juga setuju kalau sesungguhnya catur warna (atau mungkin kasta) tidak menganjurkan hierarki. Yang pasti, catur warna tidak berbeda jauh dari utopia Marx, bahwa masing-masing orang harus bekerja sesuai kemampuan dan profesinya demi kepentingan komunitas, serta memperoleh segalanya sesuai dengan kebutuhannya.
Lebih jauh, sosialisme mengamanahkan pengelolaan dan kontrol produksi kepada negara. Negara menjadi salah satu instrument yang bersifat memaksa untuk mengendalikan seluruh proses produksi sampai pada distribusi ekonomi. Konsep ini pernah digunakan oleh Lenin pasca kemenangan kaum Bolshevyk di Russia tahun 1917 yang berimplikasi pada perlawanan para petani dan peternak yang tetap mengehndaki agar hasil pertanian dan peternakan mereka tetap dikelola oleh masing-masing individu pemilik (meskipun tanah pada saat itu telah di rampas oleh negara dari kaum borjuis bangsawan dan dibagi-bagikan kepada petani), perlawanan ini lalu dijawab dengan lantang oleh Lenin dengan kebijakan “tangan besi”nya. Sosialisme lalu mencita-citakan terhapusnya negara, dan menghendaki kembalinya masyarakat pada pengelompokan yang lebih tepat kita sebut sebagai masyarakat “komunisme primitif”. Tapi perlu di catat bahwa, meskipun revolusi bolshevyk berhasil, akan tetapi menurut Lenin, negara (untuk sementara waktu) masih diperlukan karena beberapa alasan (yang tidak perlu penulis sebutkan, karena jika disebutkan, akan kembali membutuhkan penjelasan tambahan yang lebih panjang lebar lagi).
Akan tetapi, sungguh miris dan pilu. Ternyata sosialisme tidak memberi implikasi yang positif terhadap perkembangan dan kemajuan masyarakat. Sosialisme justru berisi “statisme” bahkan degradasi dan keterbelakangan yang teramat parah. Karena sosialisme tidak suka dengan persaingan, sosialisme hanya mencintai watak Kooperatif dan membenci kompetisi. Ini menafikkan watak alamiah manusia yang sesungguhnya suka perang, persaingan, dan kompetisi. Kehidupan adalah konflik, dan dalam tiap detailnya, manusia mengaktualisasikan dirinya.
- Kapitalisme
Sebaliknya, kapitalisme memiskinkan banyak orang dan memperkaya sedikit orang, para kapitalis adalah makhluk paling durjana yang pernah dilahirkan dimuka Bumi. Tidak ada yang patut kita benci selain sekumpulan orang-orang yang hanya duduk manis di atas kursi sambil melipat kakinya dalam posisi santai, dan dalam tiap harinya mereka menikmati uang dan kekayaan dari hasil keringat orang lain.
Sejak Smith dan Ricardo, mekanisme pasar bebas dan pembagian kerja dimulai. Adam Smith yang memulai dengan “Laissez Nous Faire” (Prancis; “biarkan kami sendiri”) dan “Invisible Hand”-nya (“tangan-tangan tidak kelihatan”), telah menjadi pemantik lahirnya konsep pasar bebas. Negara tidak harus mengintervensi pasar, negara harus membiarkan pasar bergerak dan tumbuh dengan sendirinya, karena pasar bebas membuka ruang kompetisi, persaingan diantara pelaku pasar, maka tidak lain, hukum survival of the fittest-pun menemukan tempatnya yang hakiki. Siapa yang kuat, maka dia akan survive. Sehingga, para pelaku pasar cenderung untuk terus berkreasi dan berinovasi, karena inilah alasan agar tetap survive. maka tidak bisa dinafikkan, kreasi dan inovasi ini pulalah yang telah ikut memberi kontribusi tersendiri pada percepatan laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang telah dimulai sejak meletusnya revolusi indutri, yang lebih pada kepentingan pasar.
Dan invisible hand-nya Smith, merupakan sebuah utopia, bahwa ketika pasar dibiarkan bebas, maka akan terjadi pendistribusian kesejahteraan kepada semua (karena Smith adalah seorang Professor Filsafat Moral yang juga Humanis). Tangan-tangan tidak kelihatan inilah yang akan mengendalikan pasar, agar tidak terjadi monopoli, agar tidak terjadi ketimpangan kesejahteraan. Akan tetapi, Smith terlampau keliru, Ia tidak mempertimbangkan watak eksploitatif manusia, Ia juga lupa bahwa manusia adalah makhluk pencinta diri yang akan cenderung mengupayakan pemenuhan kebutuhan dan kepuasan diri meskipun dngan mengorbankan orang lain. Mengutip Hobbes “homo homini lupus” dan “bellum omnes contra omnia”, bahwa “manusia adalah pemangsa bagi manusia yang lain” dan akan senantiasa terjadi “perang antara semua melawan semua”, karena faktor ketamakan dan orientasi pemenuhan diri yang tanpa nurani.
Sementara analisis Ricardo bertumpu pada perdagangan bebas dan pembagian kerja serta keuntungan komparatif. Kebijakan proteksionisme (lebih khusus pada pembatasan ekspor dan impor) harus dihindari, karena perdagangan (terutama perdagangan antar negara) justru dapat meningkatkan surplus pada masing-masing negara. Satu negara tentu tidak akan mampu memproduksi keseluruhan barang (komoditas) dengan kualitas yang sama bagusnya dan dengan biaya yang sama murahnya. Maka perdagangan bebas dapat mendorong terpenuhinya kebutuhan masing-masing negara secara memadai, juga, sekali lagi, bahwa perdagangan bebas dapat meningkatkan surplus masing-masing negara. Ini merupakan bantahan terhadap konsep merkantilisme yang cenderung melihat kekayaan sebuah negara dari jumlah simpanan yang dimiliki oleh negara tersebut (semisal logam mulia/emas, dll), karena tanah yang subur, gedung-gedung, perusahaan-perusahaan, perut bumi yang kaya tambang, serta SDM yang handal, juga merupakan kekayaan negara, yang pada saat yang sama akan ikut memberi sumbangan berharga bagi kemakmuran sebuah negara.
Selanjutnya, spesialisasi dan pembagian kerja akan melahirkan keuntungan bersama. Setiap orang harus dispesialisasi pada objek-objek pekerjaan tertentu, sehingga masing-masing individu (sebagaimana konsep perdagangan bebas yang memberi penekanan pada spesialisasi produk masing-masing negara). Seorang dokter bedah tidak perlu membuang-buang waktunya untuk duduk dibelakang meja sambil menyodorkan buku tamu untuk diisi para pasiennya, sang dokter hanya perlu menyewa seorang perawat pemula untuk membantunya, sehingga keseluruhan waktunya bisa dipakai untuk mengoperasi para pasiennya secara bergantian (jika seorang dokter bedah dapat mengoperasi seorang pasien hanya dalam waktu 3 jam, maka dalam satu hari ia dapat mengoperasi 3 orang pasien. Bayangkan jika ia bekerja sendiri, dan 3 tiga jam dari waktunya harus dipergunakan untuk melayani pengisian buku tamu calon pasiennya. Katakanlah ketika ia mengoperasi 1 pasien, ia di bayar Rp 4 juta, maka jika ia harus menghasbiskan waktunya 3 jam untuk mengisi buku tamu calon pasien, maka ia telah kehilangan 4 juta dalam 1 hari tersebut. Jika ia menyewa seorang perawat Rp 2 juta/hari untuk membantu melayani pengisian buku tamu pasiennya, maka pendapatan sang dokter bedah dalam 1 hari akan bertambah 2 juta, sebaliknya sang suster menerima upah untuk kebutuhan hidupnya Rp 2 juta setiap harinya. Bukankah dari contoh ini Nampak nyata bahwa spesialisasi benar-benar memberi keuntungan bagi setiap orang?). Dari beberapa contoh yang dikemukakan sang Ricardo kaya nan jenius, maka nampak nyata, bahwa pembagian kerja dan spesialisasi, benar-benar memberi nilai manfaat yang besar kepada setiap orang.
Sayangnya, Ricardo lupa dalam satu hal, bahwa perdagangan bebas, justru mengakibatkan dominasi dan hubungan interdependency yang timpang. Karena, negara-negara tidak berada pada posisi kekuatan ekonomi yang berimbang. Sehingga daya tawar negara dengan kemampuan ekonomi yang masih lemah, menjadi tidak berharga jika berhadapan dengan negara yang memiliki kemampuan ekonomi di atas rata-rata. Dan perdagangan bebas, telah berimplikasi pada penguasaan pasar global ditangan negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang lebih.
- Kesimpulan
Baik itu sosialisme, maupun kapitalisme, sama-sama memiliki plus dan minus. Menjadi sangat mungkin untuk mendamaikan atau bahkan mengkomparasi keduanya. Merubah wajah ekonomi sosialis ke pola yang lebih kompetitif tanpa merubah prinsip dasarnya yang menghendaki distribusi kue yang sama rata dan sama rasa. Atau merubah wajah kapitalis agar lebih humanis. China, negara komunis yang kini telah memulainya.
Deng Xiao Ping telah memulainya sejak separuh abad yang lalu. Tanpa ragu, perkembangan ekonomi China sungguh membuat ngeri negara-negara yang sejak beberapa dekade lalu telah menjadi kekuatan utama ekonomi dunia. Nampaknya, satu dekade kedepan, China akan mengambil alih kepemimpinan dunia, tidak hanya kepemimpinan ekonomi, tapi juga kepemimpinan teknologi, politik, dan militer. Demikian halnya dengan India, nampaknya Negeri Mahatma Gandhi ini tidak ingin membiarkan China menjadi single fighter di Asia, produk industry dan manufaktur India pun sudah mulai merambah ke pasar-pasar di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Seolah alam hendak mengembalikan kepemimpinan Peradaban ke tanah asalnya, yakni Asia.
Bagi penulis, Sosialisme maupun Kapitalisme, telah ikut memberi warna yang sungguh berbeda atas jalannya sejarah. Kita tidak punya pilihan, tapi harus memilih. Alangkah baiknya jika kita bisa melebur keduanya agar saling ada upaya koreksi dalam rangka untuk menemukan konsep yang ideal diantara keduanya. Konsep baru yang lahir dari komparasi diantara keduanya. itulah kesimpulan saya.
***wassalam***
Pustaka:
Marx, Karl. 2004. “Manuskrip-manuskrip Tentang Ekonomi dan Filsafat“, hal. 113-288 Dalam Konsep Manusia Menurut Marx, oleh Erich Fromm. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Adhe (Ed.). 2005. Belok Kiri Jalan Terus, Yogyakarta. Alinea.
Agger, Ben. 2009. Teori Sosial Kritis, Diterjemahkan oleh Nurhadi. Yogyakarta. Kreasi Wacana.
Gandhi, Mahatma. 2009. Semua Manusia Bersaudara, Diterjemahkan oleh Kustiniyati Mochtar. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Giddens, Anthony. 2009. Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan: Masa Depan Politik Radikal, Diterjemahkan oleh Dariyatno. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Ritzer,George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern, Diterjemahkan oleh Alimandan. Jakarta. Kencana.
Skousen, Mark. 2009. Sang Maestro “Teori-teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran Ekonomi, Diterjemahkan oleh tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta. Prenada Media Group.
Suseno, Franz Magnis. Dalam Bayang-bayang Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Trotsky, Leon. 2009. Revolusi Permanen, Diterjemahkan oleh Ted Sprague. Yogyakarta. Resist Book.
Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Diterjemahkan oleh TW Utomo dan Yusup Priya Sudiarja. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Yap, Leman. 2009. The Best Of Chinese Heroic Leaders, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Sosialisme mengajari kita untuk bertenggang rasa, mengajari kita untuk merasa dalam diri orang lain, memaknai hidup kita dalam hidup orang lain. Berbuat demi komunitas, mengabdi demi komunitas, berkarya demi komunitas. Sosialisme (pada sisi tertentu) menganggap bahwa “kita semestinya hidup demi orang lain, dan sebaliknya orang lain harus hidup untuk kita”. Sosialisme begitu sangat mencintai solidaritas dan kekompakan komunitas. Kata Marx, “setiap orang bekerja sesuai kemampuannya, dan setiap orang diberi sesuai kebutuhannya”. Sebuah konsep hidup yang mengindikasi makna keluhuran yang sesungguhnya, sebuah konsep hidup yang mengisyaratkan bahwa sesungguhnya semua manusia harus berbuat adil dan setimpal kepada sesama, sebuah konsep hidup yang menghendaki adanya kesejahteraan kepada semua, jangan ada manusia yang mengeksploitasi manusia yang lain.
Semua manusia harus berada pada strata kelas yang sama, tidak ada yang berada pada kelas atas, dan tidak ada yang berada pada kelas bawah. Semuanya terspesialisasi pada beragam kelompok profesi, tapi tetap menjaga keutuhan komunitas dengan mengarahkan tujuan pada kepentingan bersama. Mungkin inilah yang dimaksud dalam istilah sosiologi sebagai diferensiasi sosial, individu-individu terfragmentasi dalam beberapa kelompok sosial yang didasarkan atas profesi masing-masing (tertentu), tapi pengelompokan ini sungguh nyata, ada tanpa aroma kelas. Artinya, tidak ada ciri hierarki atau perjenjangan, bahwa individu atau kelompok yang satu berada pada posisi yang lebih tinggi dan mendominasi kenyataan hidup individu atau kelompok masyarakat yang lain.
Saya ingin sedikit “bermulut besar” untuk menjelaskan ini, bahwa apa yang di impikan Marx, sesungguhnya telah terimplementasi dalam kultur Hindu dengan Catur Warna-nya. Antara Barahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra, yang terfragmentasi karena faktor profesi. Yakni; Brahmana (Pendeta, Pemuka Agama) sebagai kelompok manusia yang bertanggung jawab atas kehidupan spiritual komunitas, Ksatria (Raja, Bangsawan, Prajurit) yang bertanggung jawab atas kepemimpinan dan sebagai pemberi rasa aman kepada komunitas, Waisya sebagai kelompok para pedagang, petani, tukang ahli, dll, yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan pada komunitas, serta Sudra yang bertanggungjawab untuk membantu pekerjaan rumah-an ketiga kasta (maaf, penulis tetap tidak bisa menghindari istilah yang umum digunakan) yang disebutkan lebih dahulu sehingga ketiga kasta tersebut dapat melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya tanpa terganggu dengan pekerjaan rumah-an masing-masing. Sesungguhnya dari beberapa literatur yang penulis peroleh, “kasta” berbeda dari “catur warna”. Tapi penulis tidak ingin terganggu dengan penjelasan ini. Yang substansi adalah bahwa penulis juga setuju kalau sesungguhnya catur warna (atau mungkin kasta) tidak menganjurkan hierarki. Yang pasti, catur warna tidak berbeda jauh dari utopia Marx, bahwa masing-masing orang harus bekerja sesuai kemampuan dan profesinya demi kepentingan komunitas, serta memperoleh segalanya sesuai dengan kebutuhannya.
Lebih jauh, sosialisme mengamanahkan pengelolaan dan kontrol produksi kepada negara. Negara menjadi salah satu instrument yang bersifat memaksa untuk mengendalikan seluruh proses produksi sampai pada distribusi ekonomi. Konsep ini pernah digunakan oleh Lenin pasca kemenangan kaum Bolshevyk di Russia tahun 1917 yang berimplikasi pada perlawanan para petani dan peternak yang tetap mengehndaki agar hasil pertanian dan peternakan mereka tetap dikelola oleh masing-masing individu pemilik (meskipun tanah pada saat itu telah di rampas oleh negara dari kaum borjuis bangsawan dan dibagi-bagikan kepada petani), perlawanan ini lalu dijawab dengan lantang oleh Lenin dengan kebijakan “tangan besi”nya. Sosialisme lalu mencita-citakan terhapusnya negara, dan menghendaki kembalinya masyarakat pada pengelompokan yang lebih tepat kita sebut sebagai masyarakat “komunisme primitif”. Tapi perlu di catat bahwa, meskipun revolusi bolshevyk berhasil, akan tetapi menurut Lenin, negara (untuk sementara waktu) masih diperlukan karena beberapa alasan (yang tidak perlu penulis sebutkan, karena jika disebutkan, akan kembali membutuhkan penjelasan tambahan yang lebih panjang lebar lagi).
Akan tetapi, sungguh miris dan pilu. Ternyata sosialisme tidak memberi implikasi yang positif terhadap perkembangan dan kemajuan masyarakat. Sosialisme justru berisi “statisme” bahkan degradasi dan keterbelakangan yang teramat parah. Karena sosialisme tidak suka dengan persaingan, sosialisme hanya mencintai watak Kooperatif dan membenci kompetisi. Ini menafikkan watak alamiah manusia yang sesungguhnya suka perang, persaingan, dan kompetisi. Kehidupan adalah konflik, dan dalam tiap detailnya, manusia mengaktualisasikan dirinya.
- Kapitalisme
Sebaliknya, kapitalisme memiskinkan banyak orang dan memperkaya sedikit orang, para kapitalis adalah makhluk paling durjana yang pernah dilahirkan dimuka Bumi. Tidak ada yang patut kita benci selain sekumpulan orang-orang yang hanya duduk manis di atas kursi sambil melipat kakinya dalam posisi santai, dan dalam tiap harinya mereka menikmati uang dan kekayaan dari hasil keringat orang lain.
Sejak Smith dan Ricardo, mekanisme pasar bebas dan pembagian kerja dimulai. Adam Smith yang memulai dengan “Laissez Nous Faire” (Prancis; “biarkan kami sendiri”) dan “Invisible Hand”-nya (“tangan-tangan tidak kelihatan”), telah menjadi pemantik lahirnya konsep pasar bebas. Negara tidak harus mengintervensi pasar, negara harus membiarkan pasar bergerak dan tumbuh dengan sendirinya, karena pasar bebas membuka ruang kompetisi, persaingan diantara pelaku pasar, maka tidak lain, hukum survival of the fittest-pun menemukan tempatnya yang hakiki. Siapa yang kuat, maka dia akan survive. Sehingga, para pelaku pasar cenderung untuk terus berkreasi dan berinovasi, karena inilah alasan agar tetap survive. maka tidak bisa dinafikkan, kreasi dan inovasi ini pulalah yang telah ikut memberi kontribusi tersendiri pada percepatan laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang telah dimulai sejak meletusnya revolusi indutri, yang lebih pada kepentingan pasar.
Dan invisible hand-nya Smith, merupakan sebuah utopia, bahwa ketika pasar dibiarkan bebas, maka akan terjadi pendistribusian kesejahteraan kepada semua (karena Smith adalah seorang Professor Filsafat Moral yang juga Humanis). Tangan-tangan tidak kelihatan inilah yang akan mengendalikan pasar, agar tidak terjadi monopoli, agar tidak terjadi ketimpangan kesejahteraan. Akan tetapi, Smith terlampau keliru, Ia tidak mempertimbangkan watak eksploitatif manusia, Ia juga lupa bahwa manusia adalah makhluk pencinta diri yang akan cenderung mengupayakan pemenuhan kebutuhan dan kepuasan diri meskipun dngan mengorbankan orang lain. Mengutip Hobbes “homo homini lupus” dan “bellum omnes contra omnia”, bahwa “manusia adalah pemangsa bagi manusia yang lain” dan akan senantiasa terjadi “perang antara semua melawan semua”, karena faktor ketamakan dan orientasi pemenuhan diri yang tanpa nurani.
Sementara analisis Ricardo bertumpu pada perdagangan bebas dan pembagian kerja serta keuntungan komparatif. Kebijakan proteksionisme (lebih khusus pada pembatasan ekspor dan impor) harus dihindari, karena perdagangan (terutama perdagangan antar negara) justru dapat meningkatkan surplus pada masing-masing negara. Satu negara tentu tidak akan mampu memproduksi keseluruhan barang (komoditas) dengan kualitas yang sama bagusnya dan dengan biaya yang sama murahnya. Maka perdagangan bebas dapat mendorong terpenuhinya kebutuhan masing-masing negara secara memadai, juga, sekali lagi, bahwa perdagangan bebas dapat meningkatkan surplus masing-masing negara. Ini merupakan bantahan terhadap konsep merkantilisme yang cenderung melihat kekayaan sebuah negara dari jumlah simpanan yang dimiliki oleh negara tersebut (semisal logam mulia/emas, dll), karena tanah yang subur, gedung-gedung, perusahaan-perusahaan, perut bumi yang kaya tambang, serta SDM yang handal, juga merupakan kekayaan negara, yang pada saat yang sama akan ikut memberi sumbangan berharga bagi kemakmuran sebuah negara.
Selanjutnya, spesialisasi dan pembagian kerja akan melahirkan keuntungan bersama. Setiap orang harus dispesialisasi pada objek-objek pekerjaan tertentu, sehingga masing-masing individu (sebagaimana konsep perdagangan bebas yang memberi penekanan pada spesialisasi produk masing-masing negara). Seorang dokter bedah tidak perlu membuang-buang waktunya untuk duduk dibelakang meja sambil menyodorkan buku tamu untuk diisi para pasiennya, sang dokter hanya perlu menyewa seorang perawat pemula untuk membantunya, sehingga keseluruhan waktunya bisa dipakai untuk mengoperasi para pasiennya secara bergantian (jika seorang dokter bedah dapat mengoperasi seorang pasien hanya dalam waktu 3 jam, maka dalam satu hari ia dapat mengoperasi 3 orang pasien. Bayangkan jika ia bekerja sendiri, dan 3 tiga jam dari waktunya harus dipergunakan untuk melayani pengisian buku tamu calon pasiennya. Katakanlah ketika ia mengoperasi 1 pasien, ia di bayar Rp 4 juta, maka jika ia harus menghasbiskan waktunya 3 jam untuk mengisi buku tamu calon pasien, maka ia telah kehilangan 4 juta dalam 1 hari tersebut. Jika ia menyewa seorang perawat Rp 2 juta/hari untuk membantu melayani pengisian buku tamu pasiennya, maka pendapatan sang dokter bedah dalam 1 hari akan bertambah 2 juta, sebaliknya sang suster menerima upah untuk kebutuhan hidupnya Rp 2 juta setiap harinya. Bukankah dari contoh ini Nampak nyata bahwa spesialisasi benar-benar memberi keuntungan bagi setiap orang?). Dari beberapa contoh yang dikemukakan sang Ricardo kaya nan jenius, maka nampak nyata, bahwa pembagian kerja dan spesialisasi, benar-benar memberi nilai manfaat yang besar kepada setiap orang.
Sayangnya, Ricardo lupa dalam satu hal, bahwa perdagangan bebas, justru mengakibatkan dominasi dan hubungan interdependency yang timpang. Karena, negara-negara tidak berada pada posisi kekuatan ekonomi yang berimbang. Sehingga daya tawar negara dengan kemampuan ekonomi yang masih lemah, menjadi tidak berharga jika berhadapan dengan negara yang memiliki kemampuan ekonomi di atas rata-rata. Dan perdagangan bebas, telah berimplikasi pada penguasaan pasar global ditangan negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang lebih.
- Kesimpulan
Baik itu sosialisme, maupun kapitalisme, sama-sama memiliki plus dan minus. Menjadi sangat mungkin untuk mendamaikan atau bahkan mengkomparasi keduanya. Merubah wajah ekonomi sosialis ke pola yang lebih kompetitif tanpa merubah prinsip dasarnya yang menghendaki distribusi kue yang sama rata dan sama rasa. Atau merubah wajah kapitalis agar lebih humanis. China, negara komunis yang kini telah memulainya.
Deng Xiao Ping telah memulainya sejak separuh abad yang lalu. Tanpa ragu, perkembangan ekonomi China sungguh membuat ngeri negara-negara yang sejak beberapa dekade lalu telah menjadi kekuatan utama ekonomi dunia. Nampaknya, satu dekade kedepan, China akan mengambil alih kepemimpinan dunia, tidak hanya kepemimpinan ekonomi, tapi juga kepemimpinan teknologi, politik, dan militer. Demikian halnya dengan India, nampaknya Negeri Mahatma Gandhi ini tidak ingin membiarkan China menjadi single fighter di Asia, produk industry dan manufaktur India pun sudah mulai merambah ke pasar-pasar di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Seolah alam hendak mengembalikan kepemimpinan Peradaban ke tanah asalnya, yakni Asia.
Bagi penulis, Sosialisme maupun Kapitalisme, telah ikut memberi warna yang sungguh berbeda atas jalannya sejarah. Kita tidak punya pilihan, tapi harus memilih. Alangkah baiknya jika kita bisa melebur keduanya agar saling ada upaya koreksi dalam rangka untuk menemukan konsep yang ideal diantara keduanya. Konsep baru yang lahir dari komparasi diantara keduanya. itulah kesimpulan saya.
***wassalam***
Pustaka:
Marx, Karl. 2004. “Manuskrip-manuskrip Tentang Ekonomi dan Filsafat“, hal. 113-288 Dalam Konsep Manusia Menurut Marx, oleh Erich Fromm. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Adhe (Ed.). 2005. Belok Kiri Jalan Terus, Yogyakarta. Alinea.
Agger, Ben. 2009. Teori Sosial Kritis, Diterjemahkan oleh Nurhadi. Yogyakarta. Kreasi Wacana.
Gandhi, Mahatma. 2009. Semua Manusia Bersaudara, Diterjemahkan oleh Kustiniyati Mochtar. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Giddens, Anthony. 2009. Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan: Masa Depan Politik Radikal, Diterjemahkan oleh Dariyatno. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Ritzer,George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern, Diterjemahkan oleh Alimandan. Jakarta. Kencana.
Skousen, Mark. 2009. Sang Maestro “Teori-teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran Ekonomi, Diterjemahkan oleh tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta. Prenada Media Group.
Suseno, Franz Magnis. Dalam Bayang-bayang Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Trotsky, Leon. 2009. Revolusi Permanen, Diterjemahkan oleh Ted Sprague. Yogyakarta. Resist Book.
Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Diterjemahkan oleh TW Utomo dan Yusup Priya Sudiarja. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Yap, Leman. 2009. The Best Of Chinese Heroic Leaders, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Langganan:
Postingan (Atom)