selama jasad masih mencintai dunia, selama roh belum kembali kepada substansinya yang gaib, selama akal masih menabur segudang ide dan kepentingan, dan selama kita masih berbuat demi dunia, maka berarti kita masih layak untuk bisa dikatakan "hidup".
Hidup sebagai manusia seutuhnya, yang tidak pernah menengadahkan wajah ke langit ketika didera kepahitan, dan tidak lupa menjamah bumi dengan satu kedipan mata ketika bahagia mencandra. Terasa utuh, selalu merasa lebih, lalu puas dengan apa yang dimiliki. Tidakkah ini yang diajarkan oleh setiap agama? Lalu apa yang terlintas dibenak orang-orang tamak itu, ketika mereka bergumul dengan kemunafikan untuk mengejar pemenuhan kepuasan diri yang sudah tidak pada tempatnya?. Beragama bukan berarti pasrah pada kehendak Tuhan, beragama juga bukan berarti harus senantiasa menengadahkan tangan ke langit untuk menjadi peminta-minta dihadapan Tuhan Yang Maha Agung. Memalukan, terlalu memalukan jika kita dengan wajah bebal dan seolah tanpa dosa lalu bersujud sambil menangis tersedu di hadapan Tuhan agar diberi rezeki berlimpah demi kepuasan jasad yang kotor, berdaki, dengan bau keringat serupa aroma Iblis maha durjana.
Ada banyak manusia yang tidak tahu diri, hidup dengan tinggi hati, angkuh, sombong. Orang semacam ini sungguh teramat sangat buta mata hatinya, gelap gulita nuraninya. Jika bertemu si miskin dengan baju rombeng, usang, compang-camping, tidak akan sudi ekor matanya menoleh, terlalu hina jika matanya yang indah dengan retina yang molek lalu melirik dan mendapati sesosok manusia maha gembel berwajah jelek nan buta aksara itu. Pantaskah dia hidup, seseorang yang teramat angkuh semacam ini?, kitapun tidak akan mampu memberi jawaban yang memadai untuk pertanyaan konyol semacam ini. Lagipula, hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada diri setiap orang sejak dilahirkan, hak yang tidak bisa dikurangi ataupun dihilangkan oleh siapapun dan atas alasan apapun.
Pada ruang dan waktu yang berbeda, kita temukan sejumlah manusia yang hidup dalam harmoni, tapi sungguh miskin papa, teramat sangat miskin sehingga pakaian dalam pun tidak kuasa mereka beli. Tapi mereka sungguh sekumpulan manusia yang sadar diri, yang tahu diri bahwa mereka hanyalah sekumpulan manusia inferior, bahkan untuk menjual diri sebagai budak pun tidak akan ada yang sudi membayar mereka dengan duit yang terlampau suci dan istimewa nilainya bagi mereka yang kaya dan “ber-ada”. Mereka benar-benar sadar diri, bahwa harta, kuasa dan jabatan tidak ditakdirkan untuk menjadi milik mereka, karena mereka hanyalah sekumpulan manusia hina yang buta aksara tak berpengetahuan. Mereka hanya bisa terlelap dan bermimpi dari balik bilik bambu rumah tempat mereka melepas lelah dan berbagi bahagia dan derita diantara mereka.
Antara manusia kaya, punya kuasa, dan berpengetahuan, dengan manusia gembel, miskin papa, yang buta aksara. Antara manusia angkuh, sombong, dan tinggi hati, dengan manusia yang tahu diri, yang sadar diri atas makna dan hakikat kemanusiaannya yang hina dina, sungguh sebuah kontradiksi. Inilah paradoks yang nampak nyata dalam sejarah manusia.
Harta, jabatan, kuasa dan pengetahuan, bukan sekedar pemberian Tuhan, ia lahir dari proses tertentu, berangkat dari sebuah niat dan motivasi tertentu yang dibarengi dengan kiat dan kerja keras yang tidak mengenal lelah (entah dengan cara yang lurus dan benar atau dengan cara yang menyimpang dan anti moral), disertai legitimasi Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebaliknya, kemiskinan, buta aksara, tidak berpunya, hadir dari kemalasan dan hidup yang tanpa niat, tanpa motivasi dan kerja keras, juga karena tidak berpihaknya momen dan kesempatan. Wajarkah jika kita harus membagi sejumlah milik kita yang diperoleh dengan kerja keras tak kenal lelah ini kepada mereka yang senantiasa malas, tidak berikhtiar dan tidak berpunya itu? Bukankah ketika kita memulai dari bawah, dengan kerja keras, tak satupun dari manusia-manusia gembel itu yang ikut memberi kontribusi tenaganya untuk membantu? Adilkah jika kita memberi dan adilkah jika kita tidak memberi? Entahlah, karena ini bukan soal Hak dan Kewajiban, ini hanyalah persoalan makna moral dan common sense sebagai manusia.
Tapi siapakah manusia yang begitu berani untuk tidak memberi kepada mereka yang masih kurang, jika ia hidup serba “berlebih”? inilah manusia yang tidak memiliki prasangka kemanusiaan. Hidup bukanlah milik diri sendiri, tapi hidup kita juga berjalin kelindan dengan hidup orang lain, maka hidup kita juga adalah milik orang lain, sebaliknya hidup orang lain juga adalah milik kita.
Jabatan, kuasa, harta, pengetahuan, adalah sumber-sumber status sosial yang hadir, hidup, dan langgeng dalam komunitas manusia. Pengejaran atas atribut-atribut sosial ini merupakan upaya pemenuhan kepuasan diri, karena sebagian orang berpikir bahwa inilah sumber kebahagiaan yang sesungguhnya. Kesimpulannya, pemenuhan kepuasan diri adalah tujuan hidup, tujuan keduniawian yang hakiki. Pemenuhan diri menjadi otoritas tertinggi atas makna kebahagiaan yang sesungguhnya. Sebagian besar manusia mempraktekkan ini. Bahkan seseorang yang “super melarat” sekalipun, acapkali mempraktekkan paradigma ini. Terlebih lagi mereka yang memiliki banyak peluang dan kesempatan yang disertai dengan sarana yang cukup tersedia, pemenuhan kepuasan diri telah menjadi orientasi hidup, cita-cita batin, yang bahkan ketika tidur dan bermimpi pun ruang-ruang kosong di batin mereka justru terisi dengan berbagai cita-cita picik ini.
Terlepas dari itu, sebagian kecil orang berpikir bahwa kebahagiaan sesungguhnya lahir dari keterlepasan jiwa dan raga dari atribut-atribut keduniawian. Mengutip Prof. Wei, inilah yang disebut dengan konsep meng-abnegasi dunia (menolak dunia), melepaskan diri dari keterikatan dengan kehendak nafsu duniawi. Kesimpulannya, kehendak nafsu duniawi (yang mengarah pada kehendak pemenuhan kepuasan diri) justru telah membelenggu manusia, mengikat manusia dalam kemelaratan yang esensi. Karena jiwa tidak lagi bebas dan merdeka untuk berbuat, jiwa menjadi terikat dengan berbagai nafsu dan keserakahan, selanjutnya berbagai nafsu dan keserakahan yang telah menyatu dengan batin dan keseluruhan system hidup seseorang, justru kembali memenjarakan batin manusia, ia lalu seperti memiliki kewajiban untuk menjaga seluruh “miliknya”, agar tidak kehilangan. Maka kebahagiaan tertinggi bisa ditemukan ketika seseorang melepaskan diri dari kepentingan dan nafsu duniawi. Inilah yang dijalani oleh para sufi, inilah yang dijalani oleh para pertapa, para biksu, pendeta, dan lain sebagainya. bagi para sufi, cinta kepada Allah menjadi tujuan hidup. bagi para pertapa, menyatukan jiwa dengan roh alam dapat menjadi kunci untuk mencapai kebahagiaan yang tertinggi. Para biksu beranggapan bahwa samadi dapat membawa manusia pada terang nirvana (nirwana). Bagi para pendeta Hindu, mencapai moksa menjadi kunci kebahagiaan yang hakiki.
Antara mencintai dunia dengan segala dimensinya, dan membenci dunia beserta berbagai atribut kegilaan yang melingkupinya, Inilah persimpangan yang membuat ambigu kesimpulan. Tapi apakah ini merupakan lokus kewajiban yang mengharuskan orang untuk memilih diantara keduanya? Kenapa diri tidak dibiarkan bebas untuk tidak memilih salah satu diantara keduanya!, tidak salah batin ini jika punya kesimpulan sendiri tentang makna hidup, makna kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Batin ini punya kesimpulan sendiri, begitu juga batin kami, batin kita, batin kalian, dan batin mereka.
Filosofi dan makna hidup bukan saja menjadi milik mereka yang beragama, filosofi hidup juga menjadi milik mereka yang tidak beragama, bahkan hewan, tumbuhan, mikroba, dan sebagainya mereka makna hidup mereka sendiri, sebuah makna yang hanya dapat dimengerti dan dimaknai oleh mereka sendiri. Apalah guna beragama jika kita hanya dijerumuskan kejurang kebencian, dan sikap menistakan penganut agama yang lain sambil ber”mulut-besar” bahwa agama kitalah yang paling benar. Apalah makna harta, jabatan dan kuasa jika kita hanya dijerumuskan kejurang kekerdilan nurani dan menganggap manusia yang lain sebagai lebih rendah dan tanpa martabat, tanpa harga diri dan kehormatan. apalah arti kepintaran, kecerdasan, jika memaknai esensi diri dan kehidupan saja nalar kita sudah tak kuasa. Apalah arti kecantikan, wajah sayu, molek nan indah jika hanya menjadikan kita lupa diri bahwa sesungguhnya kita hanyalah makhluk hina dari tanah yang busuk, berlumpur, yang kebetulan masih wangi dan indah ketika roh masih mencintai jasad, dan berubah menjadi bangkai buruk menjijikkan jika roh pergi tanpa permisi.
Hidup adalah harmoni. Kehidupan menuntut harmoni. Tuhan menciptakan manusia, memberi pengetahuan dan agama kepada manusia, kecantikan, kekayaan kepada manusia, bukan untuk saling mencela dan mengumbar ke-aku-an. Keseluruhan nilai itu bersifat universal, juga menjadi hak alam sepenuhnya. Tugas manusia yang kebetulan memilikinya adalah mengelolanya dalam harmoni, memanfaatkannya untuk membangun harmoni, antara sesama manusia, bersama alam, mewujudkannya dalam imajinasi dan kehendak Tuhan yang tersirat. Semua agama sama, semua manusia sama. Tidak ada yang lebih baik dan lebih mulia dibanding yang lain. Jangan egois, jangan memaksakan apa yang berada di otak, nalar, dan hati sendiri, agar berada juga didalam otak, nalar, dan hati orang lain. Setiap agama sudah dibekali dengan beragam prinsip dan ajaran tentang harmoni, demikian pula setiap manusia sudah dibekali dengan akal, nalar dan hati untuk berpikir dan merasa. Tidak saja berpikir dan merasai diri sendiri, tapi juga berpikir dan merasai orang lain sebagai diri yang sama dan satu.
Inilah esensi ber-harmoni, karena inilah tujuan hidup. Bukankah teramat bahagia jika kita berada dalam damai dan harmoni? Apa guna saling mencaci, melukai hati, membenci, dan mengkerdilkan hati yang agung? Tidakkah setiap agama dan setiap hati manusia senantiasa mengajarkan agar kita berharmoni dalam damai? Lalu untuk apa berwajah mesum dan durhaka?
***
Hidup sebagai manusia seutuhnya, yang tidak pernah menengadahkan wajah ke langit ketika didera kepahitan, dan tidak lupa menjamah bumi dengan satu kedipan mata ketika bahagia mencandra. Terasa utuh, selalu merasa lebih, lalu puas dengan apa yang dimiliki. Tidakkah ini yang diajarkan oleh setiap agama? Lalu apa yang terlintas dibenak orang-orang tamak itu, ketika mereka bergumul dengan kemunafikan untuk mengejar pemenuhan kepuasan diri yang sudah tidak pada tempatnya?. Beragama bukan berarti pasrah pada kehendak Tuhan, beragama juga bukan berarti harus senantiasa menengadahkan tangan ke langit untuk menjadi peminta-minta dihadapan Tuhan Yang Maha Agung. Memalukan, terlalu memalukan jika kita dengan wajah bebal dan seolah tanpa dosa lalu bersujud sambil menangis tersedu di hadapan Tuhan agar diberi rezeki berlimpah demi kepuasan jasad yang kotor, berdaki, dengan bau keringat serupa aroma Iblis maha durjana.
Ada banyak manusia yang tidak tahu diri, hidup dengan tinggi hati, angkuh, sombong. Orang semacam ini sungguh teramat sangat buta mata hatinya, gelap gulita nuraninya. Jika bertemu si miskin dengan baju rombeng, usang, compang-camping, tidak akan sudi ekor matanya menoleh, terlalu hina jika matanya yang indah dengan retina yang molek lalu melirik dan mendapati sesosok manusia maha gembel berwajah jelek nan buta aksara itu. Pantaskah dia hidup, seseorang yang teramat angkuh semacam ini?, kitapun tidak akan mampu memberi jawaban yang memadai untuk pertanyaan konyol semacam ini. Lagipula, hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada diri setiap orang sejak dilahirkan, hak yang tidak bisa dikurangi ataupun dihilangkan oleh siapapun dan atas alasan apapun.
Pada ruang dan waktu yang berbeda, kita temukan sejumlah manusia yang hidup dalam harmoni, tapi sungguh miskin papa, teramat sangat miskin sehingga pakaian dalam pun tidak kuasa mereka beli. Tapi mereka sungguh sekumpulan manusia yang sadar diri, yang tahu diri bahwa mereka hanyalah sekumpulan manusia inferior, bahkan untuk menjual diri sebagai budak pun tidak akan ada yang sudi membayar mereka dengan duit yang terlampau suci dan istimewa nilainya bagi mereka yang kaya dan “ber-ada”. Mereka benar-benar sadar diri, bahwa harta, kuasa dan jabatan tidak ditakdirkan untuk menjadi milik mereka, karena mereka hanyalah sekumpulan manusia hina yang buta aksara tak berpengetahuan. Mereka hanya bisa terlelap dan bermimpi dari balik bilik bambu rumah tempat mereka melepas lelah dan berbagi bahagia dan derita diantara mereka.
Antara manusia kaya, punya kuasa, dan berpengetahuan, dengan manusia gembel, miskin papa, yang buta aksara. Antara manusia angkuh, sombong, dan tinggi hati, dengan manusia yang tahu diri, yang sadar diri atas makna dan hakikat kemanusiaannya yang hina dina, sungguh sebuah kontradiksi. Inilah paradoks yang nampak nyata dalam sejarah manusia.
Harta, jabatan, kuasa dan pengetahuan, bukan sekedar pemberian Tuhan, ia lahir dari proses tertentu, berangkat dari sebuah niat dan motivasi tertentu yang dibarengi dengan kiat dan kerja keras yang tidak mengenal lelah (entah dengan cara yang lurus dan benar atau dengan cara yang menyimpang dan anti moral), disertai legitimasi Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebaliknya, kemiskinan, buta aksara, tidak berpunya, hadir dari kemalasan dan hidup yang tanpa niat, tanpa motivasi dan kerja keras, juga karena tidak berpihaknya momen dan kesempatan. Wajarkah jika kita harus membagi sejumlah milik kita yang diperoleh dengan kerja keras tak kenal lelah ini kepada mereka yang senantiasa malas, tidak berikhtiar dan tidak berpunya itu? Bukankah ketika kita memulai dari bawah, dengan kerja keras, tak satupun dari manusia-manusia gembel itu yang ikut memberi kontribusi tenaganya untuk membantu? Adilkah jika kita memberi dan adilkah jika kita tidak memberi? Entahlah, karena ini bukan soal Hak dan Kewajiban, ini hanyalah persoalan makna moral dan common sense sebagai manusia.
Tapi siapakah manusia yang begitu berani untuk tidak memberi kepada mereka yang masih kurang, jika ia hidup serba “berlebih”? inilah manusia yang tidak memiliki prasangka kemanusiaan. Hidup bukanlah milik diri sendiri, tapi hidup kita juga berjalin kelindan dengan hidup orang lain, maka hidup kita juga adalah milik orang lain, sebaliknya hidup orang lain juga adalah milik kita.
Jabatan, kuasa, harta, pengetahuan, adalah sumber-sumber status sosial yang hadir, hidup, dan langgeng dalam komunitas manusia. Pengejaran atas atribut-atribut sosial ini merupakan upaya pemenuhan kepuasan diri, karena sebagian orang berpikir bahwa inilah sumber kebahagiaan yang sesungguhnya. Kesimpulannya, pemenuhan kepuasan diri adalah tujuan hidup, tujuan keduniawian yang hakiki. Pemenuhan diri menjadi otoritas tertinggi atas makna kebahagiaan yang sesungguhnya. Sebagian besar manusia mempraktekkan ini. Bahkan seseorang yang “super melarat” sekalipun, acapkali mempraktekkan paradigma ini. Terlebih lagi mereka yang memiliki banyak peluang dan kesempatan yang disertai dengan sarana yang cukup tersedia, pemenuhan kepuasan diri telah menjadi orientasi hidup, cita-cita batin, yang bahkan ketika tidur dan bermimpi pun ruang-ruang kosong di batin mereka justru terisi dengan berbagai cita-cita picik ini.
Terlepas dari itu, sebagian kecil orang berpikir bahwa kebahagiaan sesungguhnya lahir dari keterlepasan jiwa dan raga dari atribut-atribut keduniawian. Mengutip Prof. Wei, inilah yang disebut dengan konsep meng-abnegasi dunia (menolak dunia), melepaskan diri dari keterikatan dengan kehendak nafsu duniawi. Kesimpulannya, kehendak nafsu duniawi (yang mengarah pada kehendak pemenuhan kepuasan diri) justru telah membelenggu manusia, mengikat manusia dalam kemelaratan yang esensi. Karena jiwa tidak lagi bebas dan merdeka untuk berbuat, jiwa menjadi terikat dengan berbagai nafsu dan keserakahan, selanjutnya berbagai nafsu dan keserakahan yang telah menyatu dengan batin dan keseluruhan system hidup seseorang, justru kembali memenjarakan batin manusia, ia lalu seperti memiliki kewajiban untuk menjaga seluruh “miliknya”, agar tidak kehilangan. Maka kebahagiaan tertinggi bisa ditemukan ketika seseorang melepaskan diri dari kepentingan dan nafsu duniawi. Inilah yang dijalani oleh para sufi, inilah yang dijalani oleh para pertapa, para biksu, pendeta, dan lain sebagainya. bagi para sufi, cinta kepada Allah menjadi tujuan hidup. bagi para pertapa, menyatukan jiwa dengan roh alam dapat menjadi kunci untuk mencapai kebahagiaan yang tertinggi. Para biksu beranggapan bahwa samadi dapat membawa manusia pada terang nirvana (nirwana). Bagi para pendeta Hindu, mencapai moksa menjadi kunci kebahagiaan yang hakiki.
Antara mencintai dunia dengan segala dimensinya, dan membenci dunia beserta berbagai atribut kegilaan yang melingkupinya, Inilah persimpangan yang membuat ambigu kesimpulan. Tapi apakah ini merupakan lokus kewajiban yang mengharuskan orang untuk memilih diantara keduanya? Kenapa diri tidak dibiarkan bebas untuk tidak memilih salah satu diantara keduanya!, tidak salah batin ini jika punya kesimpulan sendiri tentang makna hidup, makna kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Batin ini punya kesimpulan sendiri, begitu juga batin kami, batin kita, batin kalian, dan batin mereka.
Filosofi dan makna hidup bukan saja menjadi milik mereka yang beragama, filosofi hidup juga menjadi milik mereka yang tidak beragama, bahkan hewan, tumbuhan, mikroba, dan sebagainya mereka makna hidup mereka sendiri, sebuah makna yang hanya dapat dimengerti dan dimaknai oleh mereka sendiri. Apalah guna beragama jika kita hanya dijerumuskan kejurang kebencian, dan sikap menistakan penganut agama yang lain sambil ber”mulut-besar” bahwa agama kitalah yang paling benar. Apalah makna harta, jabatan dan kuasa jika kita hanya dijerumuskan kejurang kekerdilan nurani dan menganggap manusia yang lain sebagai lebih rendah dan tanpa martabat, tanpa harga diri dan kehormatan. apalah arti kepintaran, kecerdasan, jika memaknai esensi diri dan kehidupan saja nalar kita sudah tak kuasa. Apalah arti kecantikan, wajah sayu, molek nan indah jika hanya menjadikan kita lupa diri bahwa sesungguhnya kita hanyalah makhluk hina dari tanah yang busuk, berlumpur, yang kebetulan masih wangi dan indah ketika roh masih mencintai jasad, dan berubah menjadi bangkai buruk menjijikkan jika roh pergi tanpa permisi.
Hidup adalah harmoni. Kehidupan menuntut harmoni. Tuhan menciptakan manusia, memberi pengetahuan dan agama kepada manusia, kecantikan, kekayaan kepada manusia, bukan untuk saling mencela dan mengumbar ke-aku-an. Keseluruhan nilai itu bersifat universal, juga menjadi hak alam sepenuhnya. Tugas manusia yang kebetulan memilikinya adalah mengelolanya dalam harmoni, memanfaatkannya untuk membangun harmoni, antara sesama manusia, bersama alam, mewujudkannya dalam imajinasi dan kehendak Tuhan yang tersirat. Semua agama sama, semua manusia sama. Tidak ada yang lebih baik dan lebih mulia dibanding yang lain. Jangan egois, jangan memaksakan apa yang berada di otak, nalar, dan hati sendiri, agar berada juga didalam otak, nalar, dan hati orang lain. Setiap agama sudah dibekali dengan beragam prinsip dan ajaran tentang harmoni, demikian pula setiap manusia sudah dibekali dengan akal, nalar dan hati untuk berpikir dan merasa. Tidak saja berpikir dan merasai diri sendiri, tapi juga berpikir dan merasai orang lain sebagai diri yang sama dan satu.
Inilah esensi ber-harmoni, karena inilah tujuan hidup. Bukankah teramat bahagia jika kita berada dalam damai dan harmoni? Apa guna saling mencaci, melukai hati, membenci, dan mengkerdilkan hati yang agung? Tidakkah setiap agama dan setiap hati manusia senantiasa mengajarkan agar kita berharmoni dalam damai? Lalu untuk apa berwajah mesum dan durhaka?
***