Bobong, 30 Mei 2021
Terang saja bahwa terbitnya tulisan ini sedikit banyak merupakan luapan kegelisahan mengamati dinamika pembangunan, terlebih pada pembangunan desa. Banyak hal yang terabaikan, tapi dalam kesempatan ini kiranya satu topik dari sekian banyak persoalan itu akan coba diungkapkan. Sampling pengamatan tentu di desa penulis sendiri (Desa Lede, Kec. Lede, Kabupaten Pulau Taliabu, Provinsi Maluku Utara), sebagai salah satu wilayah terbelakang (kalaupun lucu jika dibilang 3T/ terbelakang, terpojok dan tersiksa).
Pasca reformasi tahun 1998, semangat untuk mendorong perlunya otonomisasi mulai berkembang. Otonomisasi dimaksud adalah penyerahan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah baik Daerah Tingkat I (Pemerintahan tingkat Provinsi) maupun pada daerah Tingkat II (Pemerintahan tingkat Kabupaten/Kota Madya). Penyerahan kewenangan kepada daerah agar secara otonom dan mandiri mengambil peran dan kebijakan untuk mengelola potensi-potensi yang dimiliki oleh daerah guna kesejahteraan masyarakat di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diskusi bermuara pada terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, hingga pada perubahan kedua dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan terakhir dengan UU No. 23 Tahun 2014. Semangat otonomi daerah yang berkembang kemudian menyentil pada persoalan tingkat pemerintahan yang terkecil, tentang perlunya turut mendorong otonomi dan kemandirian pemerintahan pada tingkat Desa secara sungguh-sungguh agar mampu mengambil peran dan kewenangan untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang sekiranya dapat mendorong peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat di desa.
Dengan terbitnya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa serta beberapa perangkat Peraturan
Perundang-undangan turunannya (PP No. 43 dan PP No. 60 Tahun 2014), Peraturan Menteri yang lebih bersifat teknis seperti Permendes,
Permendagri maupun Permenkeu, maka sekiranya cukup menjadi pedoman teknis bagi
pemerintahan di tingkat desa untuk mengambil peran dan kebijakan yang lebih
massif untuk meningkatkan efisiensi tata kelola pemerintahan desa, pemanfaatan
berbagai potensi sumberdaya di desa guna meningkatkan derajat kualitas hidup
dan kesejahteraan masyarakat di desa.
Desa yang cenderung identik sebagai basis pengembangan
pertanian maupun perikanan dan kelautan, dapat berinovasi sesuai dengan kondisi
ketersediaan sumberdaya yang ada di desa. Sumberdaya dimaksud tentu tidak hanya
mencakup sumberdaya alam (natural resources)
pertanian, kelautan dan perikanan maupun lain-lain potensi hutan yang pada
konteksnya menjadi kewenangan desa sesuai ketentuan Peraturan
Perundang-undangan, tapi sumberdaya dimaksud juga mencakup ketersediaan
sumberdaya manusia (human resources)
yang ada di desa. Hal ini dimaksudkan agar sumberdaya alam yang tersedia di
desa dapat dikelola secara cakap, adil, dan berkelanjutan oleh sumberdaya
manusia yang ada di desa itu sendiri untuk mendorong peningkatan kualitas
kesejahteraan hidup masyarakat di desa.
Sebagaimana pada pertimbangan tersebut, maka setiap desa
semestinya dapat berinovasi untuk terus meningkatkan potensi-potensi
ekonominya. Terlepas dari sebegitu pentingnya untuk turut mengembangkan
kualitas sumberdaya manusia di desa, tapi potensi ekonomi dalam ukuran tertentu
tetap merupakan persoalan mendasar yang harus terus didorong agar dapat tumbuh
dan berkembang secara lebih baik.
Dengan demikian, pengembangan potensi perekonomian di
desa, yang dalam hal ini difokuskan pada pengembangan potensi pertanian tentu saja dapat mencakup beragam sumberdaya pertanian di desa, dapat
dikembangkan dengan strategi yang tepat dengan terlebih dahulu mengklasifikasi
sektor pertanian apa yang menjadi sektor unggulan (leading sector) atau sektor kunci di desa. Untuk mengetahui ini,
maka perlu ada telaah ilmiah, dengan membandingkan beberapa sektor, antara
sektor-sektor mana saja yang merupakan sektor kunci dan sektor mana saja yang
bukan merupakan sektor kunci. Anggapan bahwa suatu potensi pertanian di desa
dapat menjadi sektor kunci adalah bahwa tingkat produktifitas dari sektor tersebut
dapat memberi pengaruh yang cukup luas terhadap sektor-sektor perekonomian lain
di dalam desa, atau sektor kunci adalah sektor yang produktifitasnya memberi
pengaruh dominan dan signifikan terhadap tingkat kesejahteraan hidup masyarakat
di desa.
Dengan keterbatasan SDM dan tentu saja pembiayaan, maka
beberapa sektor yang menjadi sektor kunci sangat mungkin tidak bisa
dikembangkan seluruhnya secara simultan sehingga butuh tahapan. Sektor kunci
dominan harus diprioritaskan dengan anggapan bahwa pengembangan produktifitas
pada satu sektor ini memberi dampak ekonomi yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan sektor lain. Mungkin saja, pada beberapa kasus, sektor kunci tersebut
bukan merupakan sektor yang secara mayoritas dikembangkan oleh masyarakat di
desa, tapi persoalan ini adalah peroalan pilihan dan duduk persoalannya ada
pada bagaimana mengubah mindset masyarakat
untuk perlunya mengembangkan sektor yang lebih menjanjikan peningkatan kualitas
kesejahteraan hidup masyarakat. Akan lebih mudah jika sektor kunci dominan
tersebut adalah sektor pertanian yang mayoritas dikembangkan oleh masyarakat di
desa, sehingga pada konteks implementasi kebijakan ini akan lebih mudah
dilaksanakan.
Terang saja bahwa penyusunan rencana strategis
pengembangan potensi perekonomian di desa (sejauh yang penulis ketahui) belum
diatur secara detail dalam beragam Peraturan Perundang-undangan baik yang
mengatur tentang desa maupun yang mengatur tentang perencanaan pembangunan.
Beberapa perangkat Peraturan Perundang-undangan terkait dengan desa hanya
mengatur secara umum baik tentang RPJM Desa maupun RKP Desa yang lazimnya
serupa dengan RPJM Daerah maupun RKP Daerah, tapi rencana strategis pembangunan
desa atau Renstra di tingkat desa secara spesifik belum diatur sebagai sesuatu
yang urgen dan pentingnya desa untuk menyusun rencana strategis pembangunan
yang relevan dengan konteks produktifitas ekonomi (pertanian) di dalam desa.
Jadi RPJM Desa meskipun sifatnya berisi perencanaan makro tapi cenderung diarahkan
untuk secara implementatif dapat memuat beragam potensi-potensi lokal desa
agar dikembangkan melalui penyusunan RKP Desa setiap tahun berdasarkan hasil
Musrenbangdes maupun Perkada tentang arah kebijakan pembangunan daerah pada
tahun yang berkenaan relevan dengan RKPD tingkat Kabupaten. Sehingga meskipun pemerintahan Desa secara struktural
berbeda dengan luasan kewenangan urusan pada pemerintahan daerah hingga perlu
menyusun renstra pada setiap SKPD untuk lebih menyederhanakan kinerja SKPD
sesuai dengan Visi dan Misi kepala Daerah dalam RPJMD, namun urusan pembangunan
desa bagaimanapun juga harus diarahkan lebih spesifik untuk memaksimalkan
target pembangunan perekonomian desa. Sehingga urusan pemerintahan desa tidak
lagi dalam beragam kebijakan pengembangan potensi perekonomian secara parsial,
tapi difokuskan pada satu atau beberapa potensi perekonomian kunci atau leading sector yang ada di dalam desa
tersebut.
Sejauh yang teramati, perencanaan pembangunan di desa
melalui RPJM Desa dan RKP Desa secara tahunan belum mewakili urgensi kebutuhan
pembangunan di desa seutuhnya (terlebih lagi jika RPJMDesa tidak tersedia). Demikian halnya BUMDesa yang diharapkan dapat
merepresentasi cita-cita pertumbuhan ekonomi lokal desa melalui kiat usaha yang
lebih spesifik pada sektor produksi tertentu di dalam desa belum sepenuhnya
memenuhi harapan tersebut. Artinya, jika perekonomian di desa hendak
dikembangkan, maka perlu ada kajian yang spesifik tentang potensi lokal desa
yang merupakan sektor kunci dominan untuk dikembangkan dengan kebijakan
bersifat prioritas oleh pemerintah desa. Jadi setiap desa harus memiliki sektor
kunci yang menjadi prioritas dan sektor kunci tersebut dapat menjadikan desa
lebih unggul dan berciri khas yang pada gilirannya dapat memberi dampak
berantai (multiplier effect) serta kesaling-tergantungan (interdepedency)
pada siklus perekonomian daerah secara umum melalui transaksi antar-wilayah dan
desa dengan kekhasan yang dimiliki oleh masing-masing desa, maupun antara
masing-masing desa dengan wilayah kota (urban)
sebagai wilayah induk (pasar inti) pada suatu daerah.
Maksud dari penjelasan ini, bahwa rencana strategis
pengembangan salah satu atau beberapa sektor unggulan pertanian di desa harus
terjelaskan dalam amanah perangkat Peraturan Perundang-undangan sehingga selain
sebagai payung hukum kewenangan ditingkat desa juga sifatnya menjadi wajib bagi
setiap desa untuk menyusun rencana strategis pengembangan potensi perekonomian
lokal desa yang bertumpu pada satu atau beberapa sektor sebagai sektor kunci
sesuai dengan hasil telaah dan penelitian yang bersifat akademis. Dan, sejauh itu
belum terjelaskan dalam perangkat Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi,
maka payung hukum atau sebagai dasar hukum (legal
standing) dapat dibuat melalui Perda, Perkada atau Peraturan Desa sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup batasan kewenangan
masing-masing tingkatan pemerintahan untuk memproduk peraturan terkait.
Setidaknya, gambaran diatas telah mewakili kegelisahan atau setidaknya luapan ide penulis bahwa desa harus didorong untuk memproduk Rencana Strategis (Renstra) untuk memaksimalkan potensi lokal, sehingga cakupan pendanaan yang terbatas (DD) bisa fokus dan tidak bias pada beragam pembangunan fisik yang tidak memiliki muara. Jika Renstra mampu menghasilkan rencana kebijakan pembangunan yang fokus pada satu atau beberapa sektor kunci, maka alokasi pembiayaan yang sedikit dapat dilaksanakan dengan mengoptimalkan hasil yang akan dicapai pada satu atau beberapa sektor kunci tersebut.
Persoalan ini tentu tidak akan terlepas dari dukungan kebijakan yang relevan dari tingkatan pemerintahan di atas desa melalui RPJMD, RKPD serta Renstra SKPD, sehingga kedepan dapat didorong adanya sinkronisasi program dan pembiayan antara APBD dan DD. Tapi lebih dari itu, pokok persoalannya saat ini adalah desa harus berinovasi untuk mengoptimalkan pengelolaan DD dengan alokasi yang bertumpu pada satu atau beberapa sektor ekonomi di desa, melalui konsep rencana strategis pembangunan desa secara fokus dan terukur.